Siapa Mau Terima Pengungsi Rohingya?

Polisi Indonesia membagikan pakaian bekas pada migran Rohingya di Aceh.
Sumber :
  • REUTERS/Roni Bintang
VIVA.co.id
Puluhan Warga Rohingya Kabur dari Penampungan
- Puluhan hari terombang-ambing di laut, daratan di kejauhan semestinya menjadi bagaikan oase di padang pasir. Namun harapan menjadi kemewahan bagi mereka, ribuan migran asal Bangladesh dan Myanmar.

Isu Perkosaan Hanya Alasan Pengungsi Rohingya untuk Kabur

Tidak ada negara yang rela membiarkan mereka mencapai daratan. Bantuan memang diberikan, dalam bentuk makanan, minum, sekedar untuk meredakan lapar dan dahaga. Juga bahan bakar, agar kapal mereka bisa melanjutkan perjalanan.
Hasil Visum Dugaan Pemerkosaan Warga Rohingya Negatif


Berbulan-bulan mereka berada dalam kapal kayu, yang penuh sesak dengan ratusan manusia. Lapar dan dahaga bukan satu-satunya masalah, bahkan tidak lebih mematikan daripada keputusasaan yang melingkupi setiap jiwa di dalam kapal itu.

Berpraduga baik, mereka tetap akan mendapat bantuan makan dan minum secukupnya, selama diperlakukan seperti bola ping-pong. Tapi bayangkan, seperti apa rasanya harus terus terombang-ambing di laut.

Mereka yang telah berhasil mendarat, diberikan tempat penampungan. Tapi upaya serius dilakukan tiga negara di Asia Tenggara, untuk mencegah kapal-kapal migran berikutnya masuk wilayah mereka.

Pada keadaan putus asa, bukan tidak mungkin para migran itu akhirnya memutuskan untuk merusak kapal, menciptakan situasi yang membuat negara terdekat melakukan operasi penyelamatan.

Jadi mendorong keluar kapal-kapal, bukan langkah yang tepat untuk menghindar dari tertimpa tanggungjawab mengurus pengungsi. Terlebih lagi, sama sekali bukan solusi untuk persoalan pengungsi.

Tsunami Manusia


Menkopulhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Maret 2015, mengeluarkan ancaman tsunami manusia pada Australia, dengan cara melepas puluhan ribu imigran gelap. Dua bulan kemudian, tsunami manusia terjadi.


Bukan Australia korbannya, tapi tiga negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Publik Indonesia juga pernah dibuat kecewa dan marah, dengan tindakan Australia mendorong kapal-kapal pencari suaka.


Indonesia, Thailand dan Malaysia, kini ditempatkan pada posisi Australia dengan kedatangan ribuan migran dari Bangladesh dan Myanmar. PM Australia Tony Abbott sebenarnya bisa tertawa geli saat ini.


Namun Tony Abbott yang dikutip laman SBS pada Minggu, 17 Mei 2015, mengatakan tidak bakal mengkritik langkah tiga negara, mencegah kapal pengungsi masuk ke wilayah mereka.


Kesempatan bagi Abbott untuk membela kebijakan Australia, dengan mengatakan jika negara lain memilih mendorong kapal migran, maka mungkin itu cara terbaik yang diimplementasikan oleh Thailand, Malaysia dan Indonesia.


Disebut
Reuters
, ada 1,1 juta orang Rohingya di Myanmar. Sementara di Bangladesh, 26 persen dari 150 juta penduduknya, atau sekitar 39 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan.


Sepuluh persen saja dari puluhan juta jiwa itu bermigrasi, situasinya akan jauh lebih buruk dari ancaman tsunami manusia menteri Tedjo, yang hanya melibatkan sekitar 10.000 migran.


Sudah Cukup


Oleh karenanya dapat dimengerti, jika Malaysia yang populasinya hanya 30 juta jiwa, berharap Myanmar dan Bangladesh menghentikan eksodus migran dari wilayah mereka.


Wakil PM Muhyiddin Yassin yang dikutip Reuters, menyebut sudah 120.000 orang Rohingya yang diterima Malaysia. Negara itu tidak bisa menerima lebih banyak lagi. Myanmar disebutnya harus bertanggungjawab, menyelesaikan persoalan internal mereka.


PM Malaysia Najib Razak mengatakan Malaysia merasa simpati, pada yang terombang-ambing di laut lepas. Tapi Malaysia tidak dapat dibebani, karena ada lebih banyak lagi yang menunggu untuk pergi dari Bangladesh dan Myanmar.


Jika Malaysia membuka pintunya dengan lebar, tentu tidak sedikit migran yang akan tertarik. PM Thailand Prayuth Chan-ocha, Jumat, 15 Mei, bahkan khawatir migran akan mengambil pekerjaan dari orang Thailand.


Untuk Indonesia, menilik dari Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), yang dikeluarkan bagi keluarga miskin, dapat tergambar berapa banyak orang miskin yang masih membutuhkan perhatian.


Negara pun hanya sanggup menganggarkan Rp 6,2 triliun untuk KKS, yang diberikan dalam bentuk bantuan hanya sebesar Rp 200.000 bagi setiap keluarga miskin setiap bulan.


Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa bahkan menyebut, masih ada 1,7 juta gelandangan yang belum terdaftar, untuk memperoleh KKS. Jadi apakah pemerintah bakal sanggup, mengeluarkan Kartu Pengungsi Sejahtera?


Pertemuan Darurat


Malaysia dan Thailand telah menyatakan, pentingnya melibatkan Bangladesh dan Myanmar, untuk menyelesaikan krisis pengungsi. Thailand juga mengusulkan pertemuan 15 negara, pada 29 Mei mendatang.


Juru bicara Kemlu RI Arrmanatha Nasir, Senin, 18 Mei 2015, mengatakan Malaysia, Thailand dan Indonesia sepakat bertemu di Kuala Lumpur, Rabu, 20 Mei, demi membahas nasib ribuan migran.


"Kami ingin semua negara ASEAN, khususnya yang terkena dampak langsung, ikut terlibat dan berpartisipasi. Pertemuan ini digagas mendadak, sehingga belum tentu semua menteri hadir," kata Arrmanatha.


Dia mengatakan dari pertemuan itu bisa dihasilkan keputusan, yang memiliki dampak langsung atau jangka menengah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, ada rekomendasi yang diambil mengarah ke Jakarta Meeting atau Bali Process.


Sejauh ini hanya tiga dari 11 negara ASEAN, yang terkena dampak pengungsi. Oleh karena itu, jadi pertanyaan apakah akan ada negara lain yang mau melibatkan diri. Tiga negara jelas tidak cukup, untuk memunculkan suara ASEAN.


Bali Process yang disebut Arrmanatha, adalah forum resmi internasional yang dibentuk pada 2002, untuk memfasilitasi diskusi dan berbagi informasi tentang perdagangan manusia, juga kejahatan transnasional.


Lebih dari 50 negara dan badan internasional terlibat dalam Bali Process, yang sudah berjalan selama 13 tahun. Berkaca dari Bali Process, sulit berharap dari pertemuan tiga negara, Rabu nanti.


Prinsip Non-Intervensi


Menlu Malaysia Anifah Aman, mengatakan sebagai Ketua ASEAN saat ini, Malaysia berharap mendiskusikan krisis dengan Myanmar, sebelum membawanya ke tingkat internasional.


PBB dan banyak pihak mengatakan, migrasi dari Myanmar dan Bangladesh sulit dihentikan, kecuali ada pembenahan untuk persoalan yang terjadi di kedua negara. Kemiskinan di Bangladesh, serta diskriminasi di Myanmar.


Perlu ditegaskan, Myanmar sebagai negara anggota ASEAN, turut dilindungi dengan prinsip non-intervensi, yang artinya negara anggota tidak dapat ikut campur dalam kondisi domestik negara anggota lainnya.


Sudah lama ASEAN mendapat kritik, karena dianggap tidak mampu menangani kasus-kasus pelanggaran HAM, akibat penerapan prinsip non-intervensi. Selama ini stabilitas di kawasan memang terjaga, lantaran adanya prinsip itu.


Tapi tsunami manusia, muncul dari persoalan kemanusiaan di satu negara anggota, berdampak pada negara lain, sudah dirasakan dampaknya secara langsung oleh Malaysia, Thailand dan Indonesia.


"Kebutuhan akan aksi regional yang efektif untuk mengatasi krisis sagat jelas. Tapi para pemimpin selalu gagal melakukan tindakan," kata Charles Santiago, anggota parlemen Malaysia.


Charles menyebut Myanmar bersembunyi di balik kebijakan destruktif non-intervensi, dengan terus mengulang klaim bahwa perlakuan mereka terhadap Rohingya merupakan urusan internal.


Krisis Terberat


Tsunami manusia merupakan persoalan yang lebih berat, daripada beragam isu lain yang mendasari konflik diantara negara-negara ASEAN, karena dampaknya langsung dirasakan oleh negara-negara yang terkait.


Penyelesaiannya tidak semudah menunda, mengulur waktu pembicaraan soal klaim wilayah. Membahas perdagangan manusia dalam Bali Process, bisa dilanjutkan dengan santai selama bertahun-tahun.


Baru kali ini para pejabat pemerintah ASEAN, bersuara keras membuat tudingan kepada negara anggota lain. Memperlihatkan betapa seriusnya, dampak yang diakibatkan oleh krisis pengungsi.


Pengungsi Myanmar dan Bangladesh, menjadi salah satu krisis terberat di ASEAN. Pertanyaannya, apakah cukup untuk membangunkan para anggotanya, untuk melakukan perubahan.


Siapkah ASEAN menghapus prinsip non-intervensi, demi mendesak Myanmar sebagai salah satu negara anggotanya, untuk menyelesaikan persoalan Rohingya di dalam negara itu? (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya