Sembilan Srikandi Penentu Masa Depan KPK

Aksi unjuk rasa Perempuan Indonesia Anti-Korupsi di Gedung KPK
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA.co.id - Kamis kemarin, bertepatan dengan 17 tahun runtuhnya Orde Baru dan lahirnya Era Reformasi, Presiden Joko Widodo tiba-tiba mengumumkan sejumlah nama Panitia Seleksi (Pansel) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk periode 2015-2019.

Menariknya, sembilan orang yang ditunjuk itu semuanya perempuan. Berbeda jauh dengan prediksi sejumlah pihak akan nama-nama figur yang akan menjadi penyaring pertama pimpinan KPK itu.

Menurut Istana, pemilihan sembilan srikandi itu sudah berdasarkan pertimbangan panjang selama dua pekan dari sebanyak 40 nama yang diajukan. "Saya bekerja keras membentuk panitia seleksi komisioner KPK, panitia harus kompeten dan berintegritas," kata Jokowi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis, 21 Mei 2015.

Ia mengklaim, srikandi pilihan ini memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni dan dianggap mampu memperkuat kelembagaan KPK kedepan. "Dengan tata kelola seperti ini, saya berharap komisioner yang terpilih nanti memiliki kemampuan yang lengkap," ujarnya.

PDIP: Pemimpin Baru KPK Sudah Selesai Urusan Pribadinya

Pansel ini jadi harapan baru rakyat. Bukan karena semata seluruhnya perempuan, namun mereka dituntut harus bisa memunculkan para calon pimpinan KPK yang lebih berani dan bertaji. 

Sejak Abraham Samad dan Bambang Widjajanto dinon-aktifkan, publik tampak kecewa dengan kinerja kepemimpinan KPK saat ini, yang tidak segarang dan segesit dulu dalam memburu dan menindak koruptor kelas kakap. Masyarakat berharap sembilan srikandi yang ditunjuk sebagai Pansel itu bisa jadi awal yang baik untuk mengembalikan reputasi KPK, yang sudah berusia 13 tahun.

Sering Berseberangan dengan KPK, Kini Alex Jadi Pimpinan
Dari yang awalnya biasa-biasa saja, KPK mencuat jadi lembaga super dengan menangkap dan mengadili para koruptor kelas kakap. Namun, sepak terjang itu pula yang membuat pimpinannya habis-habisan "dikerjai" para pemegang kuasa yang, ironisnya, merupakan sesama penegak hukum.   
Jokowi Ingin Segera Lantik Pimpinan Baru KPK

Sebut saja saat lembaga ini dipimpin Antasari Azhar pada tahun 2007-2009. Sepeninggal Taufiequrachman Ruki yang didaulat menjadi Ketua KPK periode pertama pada tahun 2003 hingga 2007, lembaga ini langsung mendapat guncangan keras.

Siapa kira, Antasari yang kala itu berhasil membongkar kasus suap BLBI dan mencokok Gubernur Bank Indonesia yang tak lain menantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni Aulia Tantowi Pohan, justru ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan.

Alhasil, sejak itu juga, selama dua tahun berturut kiprah KPK boleh dibilang redup. Dua Ketua KPK yang ditunjuk, Pelaksana Tugas Tumpak Hatorangan Panggabean untuk periode 2009-2010 dan Busyro Muqoddas, 2010-2011, tak begitu mendapat sorotan publik.

Hingga akhirnya di periode 2011-2015. Di bawah tangan Ketua KPK Abraham Samad, lembaga ini bak kembali hidup dan menuai simpati publik sekaligus kontroversi berkepanjangan.

Bersama pimpinan KPK lainnya, Bambang Widjojanto, Zulkarnaen, Adnan Pandu Praja dan Busyro Muqoddas, KPK beberapa kali unjuk gigi menggulung praktik korupsi yang membelit sejumlah petinggi negara.

Beberapa nama figur publik seperti Andi Malarangeng, Muhammad Nazaruddin, artis Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, mantan ketua MK Akil Mochtar dan lainnya, 'ditelanjangi' KPK.

Publik dibuat terpaksa terhenyak dan tersadar, ternyata perilaku koruptif benar-benar sudah merajalela di Indonesia. Simpati dan dukungan kepada KPK pun meruah.

Diperkuat dengan krisis kepercayaan publik kepada penegak hukum, nama KPK pun semakin harum dan dielu-elukan publik menjadi lembaga paling dipercaya untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita di Indonesia.

Upaya Pelemahan

Belakangan, di awal tahun 2015. Publik yang terlanjur mengagungkan KPK kembali dibuat gaduh. Pemicunya, Ketua KPK Abraham Samad dan seluruh pimpinannya dilaporkan ke kepolisian.

Pelaporan yang dituding berkorelasi erat dengan dugaan kasus korupsi yang sedang dibongkar KPK di tubuh petinggi Polri ini, kini memaksa Samad dan Bambang menjadi tersangka. Reaksi publik pun semakin menjadi.

Bagaimana tidak, dijelang habis masa kepemimpinan KPK pada Desember 2015 ini, lembaga ini justru dibuat terpuruk di mata publik. Sebab itu, banyak pihak akhirnya beranggapan dan menghubungkan kondisi ini dengan upaya pelemahan KPK secara simultan dan sistemik oleh oknum tertentu.

Kini, guna mengisi kekosongan sementara. Pada pertengahan Februari 2015, Presiden Joko Widodo menunjuk tiga pimpinan KPK yang baru hingga akhir Desember 2015. Dua nama diambil dari internal KPK yakni, Taufiequrachman Ruki dan Johan Budi. Sementara satu lagi ditarik dari praktisi hukum, Indriyanto Seno Adji.

Harapan dan Ancaman

Sejauh ini, reaksi publik cukup positif atas penunjukkan sembilan perempuan beragam latar belakang itu sebagai Pansel pimpinan baru KPK. Banyak pihak bahkan mengapresiasi langkah Jokowi mengambil strategi meredam ketegangan yang muncul selama ini di tubuh KPK.

Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, menilai bahwa komposisi pansel yang semua perempuan dapat menumbuhkan cinta dan kasih sayang dalam lembaga KPK. Mereka pun dapat menyeleksi calon pimpinan KPK tidak hanya berdasarkan dedikasi dan integritas, melainkan juga dengan kelembutan kasih sayang perempuan.

"Alhamdulilah, berarti akan ada cinta. Bagus. KPK memerlukan cinta. KPK tidak memerlukan kekuasaan," kata Fahri.

Fahri juga meyakini, lewat keterlibatan perempuan saat proses penyaringan pimpinan KPK, maka KPK kedepan dapat lebih santun dan ramah dalam bertindak. Tak diketahui isyarat di balik pernyataan Fahri ini, namun ia seperti menyebut KPK periode sebelumnya tak lebih sebagai lembaga penuh amarah.

"(Jadi) Bukan ingin menunjukkan jago, bisa gerebek orang, mempermalukan orang, bukan itu. Perlu jiwa besar, perlu negarawan. Kalau tidak, berkelahi terus," kata Fahri.

Dukungan serupa juga meluncur dari Komnas Perempuan dan Indonesia Corruption Watch. Apresiasi pemilihan para perempuan itu, dinilai menjadi terobosan baru di Indonesia. "Apresiasi pada Jokowi yang sudah memberi kepercayaan pada sejumlah perempuan untuk memegang peran penting dalam timsel KPK," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah.

Meski begitu, penunjukkan pansel srikandi ini tetap menuai kritik tajam. Salah satunya dilontarkan oleh mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua.

Menurut mantan petinggi KPK yang terkenal dengan sosok peci dan janggut panjangnya ini, pilihan presiden itu ibarat membuka lubang kematian bagi KPK. "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kiamat sudah makin dekat," ujar Abdullah menanggapi susunan pansel KPK, Kamis 21 Mei 2015.

Menurutnya, dari komposisi pansel diketahui hanya ada dua orang yang merupakan praktisi anti korupsi. Selebihnya adalah akademisi, yang belum tentu mumpuni dalam bidang pemberantasan korupsi.

"Kekhawatiran saya, pimpinan KPK yang terpilih adalah mereka yang pakar tentang korupsi secara teori, bukan praktisi. Akibatnya akan terjadi disintegrasi di antara komisioner dengan pegawai KPK," ujarnya.

Tak cuma itu, tambahnya, bila komposisi ini dikaitkan dengan aturan Islam. Maka susunan pansel srikandi tersebut, jelas menjadi pertanda kehancuran KPK pada masa depan.

"Barang siapa yang menyerahkan urusan pemerintahan kepada perempuan, maka tunggulah kehancuran," kata dia. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya