Musim Panas Mematikan Melanda India

Pria India membawa payung sangat besar
Sumber :
  • REUTERS/Jitendra Prakash
VIVA.co.id
Selfie di Depan Singa, Denda Rp3 Juta
- Gelombang panas yang melanda India, hingga Minggu 31 Mei 2015, sudah memakan korban lebih dari 2.000 jiwa. Jumlah tersebut, melonjak tajam dari data sebelumnya pada 26 Mei, yaitu baru sekitar 500 jiwa. 

Belum Bayar Utang Rp30 Ribu, Suami Istri Dibunuh
Pusat data bencana darurat internasional yang di dikelola Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) mencatat, jumlah korban jiwa tersebut, merupakan urutan kelima terbanyak dalam catatan sejarah bencana gelombang panas di seluruh dunia. 

Korban Ledakan di India Jadi 100 Orang
Dikutip dari Timesofindia, gelombang panas paling mematikan terjadi di Eropa pada 2003 lalu, yang memakan korban sebanyak 71.310 jiwa. Kemudian, yang kedua, pada 2010, negara Rusia mengalami bencana serupa yang menelan korban sebanyak 55.736 jiwa.  

Sebelumnya, pada 2006, gelombang panas kembali melanda kawasan Eropa, tetapi tidak separah bencana serupa di 2003. Kala itu, korban jiwa tercatat sebesar 3.418 jiwa. 

Seperti banjir di Indonesia, atau angin topan di Amerika Serikat, gelombang panas tampaknya rajin mampir di negara tersebut setiap tahunnya. Kejadian paling mematikan tercatat pada 1998, yang menelan 2.541 jiwa. Kemudian, pada 2002 dan 2003, yang masing-masing melenyapkan nyawa 1.030 dan 1,210 warga India. 

Di bagian selatan India, tepatnya kota Andhra Pradesh dan Telangana, tercatat sebagai daerah dengan korban terbanyak saat ini, dengan total 1.979 jiwa. Sementara itu, 17 orang lainnya ditemukan tewas di Orissa, bagian timur India, dan terdapat sembilan orang yang dilaporkan tewas di wilayah lainnya. Maka, total korban tewas mencapai 2.005 orang. 
 
Musim panas yang terjadi mulai pertengahan April tersebut, mencatat suhu udara rata-rata di seluruh India, berkisar 45 derajat celcius, atau lebih tinggi lima derajat dari tahun lalu. Perkiraan dari New Delhi, suhu itu akan terus meningkat dalam beberapa pekan mendatang. Bahkan, di beberapa daerah suhunya sudah ada yang mencapai 47 derajat celcius. 

Para peneliti di Ahmedabad, yang tergabung dalam Pusat Studi Iklim Panas menganalisis semua penyebab kematian di daerah tersebut akibat gelombang panas pada 2010, dibandingkan dengan 2009 dan 2011. Hasilnya, yang diterbitkan dalam jurnal PlOS One pada Maret tahun lalu, mengungkapkan hal yang mengejutkan. 

Salah satu hasilnya, pada 2010, data resmi mencatat sebanyak 50 orang tewas karena gelombang panas. Tetapi, dari hasil studi yang dilakukan terungkap bahwa korban jiwa akibat iklim musiman tersebut mencapai lebih dari 1.344 jiwa, melonjak 43 persen dari tahun sebelumnya. Artinya, jumlah korban yang sebenarnya bisa lebih besar dari apa yang tercatat. 

Dalam melakukan kajiannya, grup studi tersebut bekerja sama dengan otoritas sipil setempat dengan menempatkan sistem untuk menyelamatkan masyarakat dari kondisi gelombang panas. 

Ahli cuaca dan pendiri Weather Underground, Jeff Masters dalam jurnalnya juga berpendapat serupa, korban meninggal dari gelombang panas yang sangat sulit untuk memperkirakan, karena pengaruh dari cuaca ekstrem itu biasanya tidak terdaftar sebagai penyebab utama kematian dalam kasus tertentu. Di mana, warga yang meninggal memiliki penyakit, seperti  jantung, atau sakit paru paru. 

"Ini berarti bahwa dalam kebanyakan kasus, terutama di India, jumlah korban tewas yang sebenarnya akan jauh lebih tinggi di semua peristiwa yang terdaftar, termasuk yang sekarang," ujarnya. 

Apa yang dilakukan otoritas setempat

Banyak rumah sakit di India, tak sanggup menampung para pasien yang terkena gelombang udara panas. Bahkan, karena terbatasnya sarana dan prasarana di rumah sakit tersebut, satu tempat tidur bisa ditampung oleh lebih dari satu pasien.

Tidak hanya itu, listrik di rumah sakit setiap harinya selama iklim ekstrem melanda, sering mengalami pemadaman. Mau tak mau, ada sebagian instalasi rumah sakit yang tak bekerja maksimal. Pemeritah India mengklaim, pembangkit tenaga listrik tidak bisa bekerja maksimal terdampak gelombang panas tersebut. 

Selain itu, dikutip dari Channel News Asia, para pejabat berwenang di Andhra Pradesh dan Telangana, daerah dengan korban terbanyak, telah meluncurkan kampanye edukasi publik untuk memberi informasi kelompok paling rentan, agar tahu cara menghadapi gelombang panas.

Pemerintah turut menganjurkan kepada warganya, agar tidak bepergian ke luar rumah di siang hari untuk menghindari dampak gelombang panas. Namun, bagi beberapa warga, hal tersebut bukanlah pilihan yang bisa dilakukan. 

Di Telangana, otoritas berwenang menggunakan pamflet dan media lokal menginformasikan warga untuk menghindari bepergian ke luar, serta banyak mengonsumsi air. 

Menurut Kepala Penanganan Bencana, B.R. Meena, di Telangana total korban tewas mencapai 489 orang. "Ada kelegaan dalam gelombang panas (terkait jumlah), namun kami juga pergi ke jalan-jalan untuk menginformasikan bagaimana, agar tetap aman," kata Meena. 

Pejabat berwenang lainnya di Rajiv Gandhi Institute of Medical Sciences, J.V Subbarao mengklaim, intensitas gelombang panas sudah menurun saat ini. 

"Tidak ada situasi yang mendesak saat ini. Panas sudah mulai menurun dan kami melihat hanya beberapa pasien baru yang dirawat, karena tersengat panas," kata Subbarao.

Melihat sedemikian banyak korban, otoritas kesehatan di kota tersebut juga membatalkan semua permohonan cuti dokter yang bertugas di India. Seperti dilansir dari laman Reuters, hal itu untuk memastikan pelayanan bagi para korban dapat terakomodir dengan baik. 

Para pekerja kesehatan juga dilatih untuk mengenali gejala stres, karena suhu udara tinggi dan memastikan ruang instalasi darurat, serta ambulans siap digunakan. Selain itu, ruangan tersebut dilengkapi dengan es, agar suhu udara tak begitu panas.

Seperti diketahui, suhu udara yang tinggi dapat menyebabkan dehidrasi, kehausan, sengatan panas, memburuknya penyakit jantung, dan penyakit pernafasan. Warga juga diminta untuk selalu mengecek prediksi suhu udara yang tinggi melalui rumah sakit, kelompok masyarakat, media, dan beberapa badan pemerintah.

Upaya mengantisipasi memburuknya dampak dari gelombang panas tersebut telah diterapkan di daerah Ahmedabad, hal itu merupakan bagian dari rencana aksi untuk mengatasi iklim ekstrem tersebut. Selain itu, mereka juga memiliki sistem peringatan dini untuk mengurangi efek kesehatan dari stres yang diakibatkan panas.

Rencana tanggap bencana gelombang panas dibuat kota Ahmedabad, usai kejadian serupa melanda area tersebut pada Mei 2010 lalu. Salah satu informasi yang masuk ke dalam rencana aksi, yaitu pemetaan area dengan masyarakat yang berisiko tinggi terhadap gelombang tinggi.

Pemerintah kota juga membuat program kewaspadaan publik mengenai risiko suhu tinggi dan memasang area pendingin di beberapa tempat umum, kuil, dan pusat perbelanjaan. Khususnya, di musim kemarau yang menyengat. 

Informasi mengenai risiko gelombang panas telah disebarluaskan oleh Pemerintah Kota Ahmedabad, melalui berbagai media elektronik seperti televisi, radio, dan koran. Selain itu, juga melalui berbagai platform lain seperti pesan pendek WhatsApp

Karena itu, korban jiwa akibat gelombang panas di kota tersebut dapat ditekan tahun ini. Rencana aksi tersebut, seharusnya juga bisa diterapkan di kota Andhra Pradesh dan Telangana dengan maksimal. 



Infrastruktur meleleh, buruh tidak punya pilihan 

Ekstremnya cuaca yang dialami bukan hanya berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup masyarakat India. Kegiatan  bisnis di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia tersebut juga terancam. 

Meskipun belum ada keterangan resmi dari pemerintah, seberapa besar dampak dari fenomena alam tersebut berpengaruh terhadap laju ekonomi. Dampak langsungnya sudah bisa terlihat dengan mata telanjang merusak infrastruktur di negara tersebut. 

Dilansir dari Hindustantimes, Minggu 31 Mei 2015, beberapa infrastruktur jalan tampak meleleh akibat gelombang panas tersebut. Hingga saat ini, ada beberapa ruas di New Delhi, Ibu kota India, rusak karena gelombang panas tersebut. 

Pembangunan properti di negara tersebut pun berisiko menurun. Namun, para buruh, khususnya kuli bangunan mengaku tidak memiliki pilihan, selain bekerja keras di tengah iklim ekstrem tersebut.   

"Kami harus membesarkan anak-anak, jadi kami harus bekerja meskipun itu panas. Jika tidak, apa yang akan anak-anak kita makan?" kata Sunder di Gurgaon, tukang batu berusia 38 tahun di sebuah kota satelit dekat Delhi di mana kantor beberapa perusahaan multinasional berada.

Gelombang panas kali ini juga dinilai paling mematikan selama satu dekade terakhir, yang membuat jutaan orang di India bekerja di luar suhu ekstrem. 

Di beberapa bagian India selatan, jalan-jalan kosong pada hari Jumat lalu terlihat lengang, proyek konstruksi ditinggalkan dan kantor-kantor setengah kosong. Tapi bagi banyak orang India miskin, kebutuhan untuk mendapatkan uang lebih besar lebih diprioritaskan daripada risiko bekerja di bawah sinar matahari.

Karena itu tidak heran, kebanyakan dari buruh yang meninggal adalah orang-orang tua yang menderita sengatan matahari, atau dehidrasi.

Di Gurgaon, di mana suhu rata-rata di atas 43 derajat Celcius pada Jumat, pendapatan buruh bangunan per harinya sekitar US$3,14. Pembangunan infrastruktur listrik dan gedung-gedung bertingkat sedang marak di daerah tersebut. 

Terlepas dari damapak ekonomi tersebut, pemerintah India masih fokus terhadap penanganan masyarakat yang terkena dampak dari fenomena alam yang terjadi saat ini. Karena itu, pemerintah India belum secara resmi menghitung berapa besar kerusakan infrastruktur akibat bencana tersebut. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya