Seribu Satu Cara Lumpuhkan KPK

Gedung KPK
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean

VIVA.co.id - Seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bernama Afief Yulian Miftach menerima ancaman teror. Ditemukan sebuah benda mencurigakan menyerupai detonator yang diduga bom di depan rumahnya di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Minggu kemarin, 5 Juli 2015.

Benda itu belakangan dipastikan bukan bom, setelah tim penjinak bahan peledak Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya memeriksanya. Ternyata, detonator itu palsu. Tak ada bahan peledak meski benda dibentuk menyerupai bom.

Polisi menyimpulkan benda itu tak membahayakan, tetapi memang menimbulkan ketidaknyamanan. Dalam kalimat yang lebih sederhana: benda itu cuma untuk menakut-nakuti, alias meneror.

Identitas pelaku, atau orang yang menaruh benda itu masih diselidiki, meski ciri-ciri fisiknya sudah diketahui dari rekaman kamera pengawas di rumah Afief. Begitu juga motifnya, belum dipastikan.

Peristiwa itu, segera dikaitkan dengan upaya teror terhadap Afief sebagai penyidik KPK, bukan sebagai warga biasa, bukan pula akibat ulah orang iseng. Soalnya, Afif masih tercatat sebagai polisi aktif berpangkat komisaris polisi dan sejauh ini telah menangani sedikitnya enam perkara korupsi.

Asumsi bahwa teror itu berhubungan dengan profesi Afief, didukung peristiwa serupa sebelum-sebelumnya. Dia beberapa kali mendapati ban mobilnya tiba-tiba kempes. Di lain waktu, pernah disiram air keras oleh orang tak dikenal.

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto
Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, Selasa 7 Juli 2015, mengungkapkan fakta bahwa ancaman teror yang dialami penyidik KPK bukan kali ini saja. Teror dengan berbagai bentuk sering dialami penyidik KPK, mulai dari yang bersifat fisik maupun psikis.

Bahkan, katanya, dahulu pernah ada seorang penyidik yang ditabrak orang tak dikenal hingga patah kaki.

Penangkapan penyidik Novel Baswedan oleh polisi pada 1 Mei 2015 pun, menurut Hehamahua, merupakan teror dalam bentuk lain. Begitu pula, pada kasus-kasus pidana yang disangkakan, atau dituduhkan kepada pimpinan KPK, seperti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

Modus operandinya memang bervariasi, misalnya, kesalahan, atau unsur tindak pidana dicari-cari sebagai formalitas untuk penegakan hukum.

Bagi Hehamahua, itu bukan sekadar teror kepada personal penyidik maupun pimpinan, melainkan menyasar lembaga KPK. Personal penyidik maupun pimpinan hanya sasaran antara dan tujuan utamanya adalah KPK secara kelembagaan, sebagai sebuah lembaga penegak hukum.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi, sedari awal mewanti-wanti publik dan pers, agar tak terburu-buru mengaitkan rangkaian peristiwa teror itu dengan perkara korupsi yang ditangani Komisi.

Meski begitu, kata dia, KPK tak menutup mata jika ancaman itu membahayakan penyidiknya.

Hehamahua mereduksi pernyataan normatif Johan Budi. Menurutnya, rangkaian teror itu telah membuat terang ada upaya melemahkan, atau bahkan melumpuhkan KPK. Sejauh ini, memang hampir tak ada teror yang melukai penyidik maupun pimpinan, karena tujuannya hanya membuat situasi tak nyaman.

Teror itu, apa pun bentuknya, katanya, sedikit atau banyak sudah mengganggu kinerja penyidik. Ditambah dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sudah dinonaktifkan sebagai Ketua dan Wakil Ketua KPK, karena status tersangka masing-masing.

Energi KPK sudah banyak terkuras dalam polemik dengan Polri akibat penetapan tersangka korupsi terhadap Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, yang kala itu adalah calon tunggal Kepala Polri.

KPK Setor Uang ke Kas Negara Rp1,1 Miliar dari Eks Pejabat Muara Enim

Corruptor fight back

Hehamahua menganalisis spekulatif bahwa rangkaian teror itu adalah upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Teror itu hanya salah satu cara. Muslihat lain yang jauh lebih berdampak pada KPK, umpamanya, usulan merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Usulan itu sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015, yang berarti setahap lagi undang-undang itu bakal diutak-atik oleh DPR.

Ada tiga substansi yang diwacanakan untuk direvisi pada Undang-Undang KPK. Di antaranya, tentang Penyadapan dan Penuntutan. KPK hanya dibolehkan menyadap pihak-pihak yang sudah berurusan dengan hukum. Sedangkan soal penuntutan, KPK akan dibantu Kejaksaan.

Penggagas, atau yang pro dengan revisi itu berargumentasi bahwa perubahan undang-undang tentang KPK tak akan melemahkan, atau bahkan melumpuhkan KPK, melainkan malah menguatkannya.

Ada juga yang menyebutkan bahwa penindakan hukum yang dilakukan KPK berkontribusi menghambat, atau sekurang-kurang melambatkan pembangunan. Soalnya, banyak kepala daerah tak bernyali untuk berinovasi, karena takut disangka melanggar hukum, atau korupsi.

Masalahnya adalah pokok-pokok yang akan direvisi itu bersifat vital bagi KPK. Umpamanya soal klausul penyadapan. Kewenangan legal yang memang hanya dimiliki KPK itu terbukti ampuh menjerat tersangka korupsi. Sejumlah operasi tangkap tangan usaha penyuapan pun bermula dari penyadapan.

Hehamahua mengingatkan bahwa usaha untuk merevisi undang-undang itu bukan kali ini saja. Gagasan itu pernah dibahas pada 2012. Hal-hal yang akan diubah hampir sama dengan yang belakangan mengemuka lagi, yakni soal penyadapan dan penuntutan. Undang-Undang KPK memberi kewenangan luas kepada KPK dalam melakukan upaya penyadapan tanpa perlu meminta izin pengadilan dan tanpa menunggu bukti permulaan yang cukup.

Namun, dalam draf itu KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan dan harus mengantongi bukti permulaan yang cukup. Hanya dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan tanpa meminta izin tertulis ketua pengadilan negeri.

Mereka yang menolak rencana revisi itu berpendapat bahwa permintaan izin dapat menyebabkan kebocoran informasi; menimbulkan konflik kepentingan jika penyadapan terkait pemberi izin; dan memperpanjang birokrasi yang justru menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan di KPK.

"Jadi, ada upaya yang disebut corruptor fight back (perlawanan para koruptor). Ini berjalan terus," kata Hehamahua kepada wartawan di kantor KPK, Jakarta.

Dia secara lugas mencurigai memang ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Upaya itu tak hanya dari satu sisi, melainkan dengan berbagai cara. Dia mencatat sejumlah ikhtiar, misalnya, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun amandemen Undang-Undang KPK, sejatinya adalah untuk melemahkan KPK.

"Entry point (modus operandi) melalui macam-macam cara," ujarnya.

KPK tidak ada temannya

Johan Budi pernah mengeluhkan kepada publik bahwa KPK kini seolah ditinggalkan dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. KPK adalah produk reformasi dan dibentuk dengan semangat bersama untuk memberantas korupsi. Namun, kini seolah tak ada yang mendukung, kecuali publik.

Sejumlah pihak, katanya, giat memprakarsai dan mendesak merevisi Undang-Undang KPK yang sarat siasat pelemahan lembaga itu. Prosedur kewenangan penyadapan diperumit, sehingga berpotensi menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan di KPK.

"Seolah-olah KPK tidak ada temannya, kecuali publik," kata Johan dalam sebuah kegiatan Madrasah Antikorupsi di kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Minggu lalu, 28 Juni 2015.

Namun, pada sisi lain KPK juga dikritik justru ikut berkontribusi pada upaya pelemahan itu. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat sejumlah upaya pelemahan KPK. Namun, pimpinan lembaga itu tak berjuang serius untuk melawan. Misalnya, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada 23 Juni 2015, saat pembahasan uji materi Pasal 32 Ayat 2 Undang-Undang KPK. Saat itu, hakim konstitusi meminta agar bukti rekaman yang berisi upaya kriminalisasi pimpinan KPK diperdengarkan.

Menurut Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Hukum dan Masyarakat LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, saat rekaman itu diputar untuk diperdengarkan kepada hakim, pimpinan KPK justru tidak hadir. Itu cukup membuktikan bahwa pimpinan KPK tak sungguh-sungguh melawan setiap upaya pelemahan KPK.

"Konspirasi pelemahan KPK yang sempat direkam menjadi pertanyaan besar di kalangan publik. Hal ini semakin nyata, ketika di dalam tubuh KPK sendiri, pernyataannya yang diberikan berubah-ubah," katanya dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Minggu 28 Juni 2015.

Alghiffari menjelaskan, rekaman menyimpan sebuah kebenaran sebagai bukti atas pelemahan terhadap KPK. Namun, pimpinan KPK menutupinya. "Sayangnya ditutup-tutupi sebagai bentuk penghancuran lembaga itu sendiri," ujarnya.

Dia meminta pimpinan KPK tidak menutup-nutupi rekaman itu. Soalnya itu bukan semata mempertaruhkan integritas mereka. "Membuka kebenaran adalah bagian dari pemberantasan korupsi." (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya