Kabut Asap, Bencana yang Terus Berulang

Riau siaga darurat kebakaran
Sumber :
  • ANTARA/FB Anggoro

VIVA.co.id - Kebakaran lahan dan hutan di Indonesia, khususnya wilayah Sumatera terus saja terjadi. Akibatnya, kabut asap pun memenuhi udara di sejumlah wilayah Tanah Air.

Kondisi tersebut tentu saja mengganggu masyarakat dari segi keseharian atau dalam menjalankan aktivitas mereka sehari-hari. Selain itu, visibility atau jarak pandang juga menjadi terbatas.

Satelit mendeteksi hotspot atau titik api tak saja berada di lahan warga, tapi juga di kawasan hutan lindung, misalnya Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.

Berdasarkan pemantauan satelit Modis (Terra-Aqua) pada Minggu, 26 Juli 2015, hotspot di Sumatera ada 308 titik. Rinciannya adalah, Riau 122, Sumatera Selatan 59, Jambi 58, Bengkulu 10, Sumatera Barat 19, Sumatera Utara 25, Bangka Belitung 9, Kepulauan Riau 1, dan Lampung 5.

Sementara itu, menurut data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru pada pukul 07.00 WIB, Minggu 26 Juli 2015, sebanyak 308 hotspot itu tersebar di 9 provinsi di Sumatera. Dari sembilan provinsi tersebut, Riau merupakan daerah yang paling banyak terdeteksi hotspot.

"Jumlahnya mencapai 122 titik," kata Kasi Bidang Data dan Informasi, Slamet Riyadi.

Provinsi lainnya seperti Bengkulu terdapat 10 titik, Lampung 5 titik, Jambi 58 titik, Sumatera Barat 19 titik, dan Sumatera Selatan 59 titik. Selain itu, di Sumatera Utara terdeteksi 25 titik, Kepri 1 titik, dan Bangka Belitung 9 titik.

Mengenai 122 hotspot di Riau, dari 12 kabupaten/kota yang ada di Riau, 10 di antaranya terdeteksi ada hotspot. Seperti Kabupaten Bengkalis terdapat 17 titik, Kampar 16 titik, Dumai 7 titik, Kuansing 4 titik, Pelalawan 44 titik, Rokan Hilir, dan Siak masing-masing 5 titik, Rokan Hulu 2 titik, Indragiri Hilir 8 titik, dan Indragiri Hulu 14 titik.

Saat ini, sejumlah daerah di Bumi Melayu itu sudah diselimuti kabut asap. Di Ibu Kota Provinsi Riau, Pekanbaru, indeks standar pencemaran udara (ISPU) sudah menunjukkan kualitas udara dalam tahap tidak sehat.

Berdasarkan data dari Satuan Tugas Kebakaran Lahan dan Hutan (Satgas Karlahut) Riau, sejak 24 Juni hingga 26 Juli 2015 tercatat 1.246 hektare lahan terbakar di Riau. Ada empat daerah di Riau yang jadi mayoritas banyak terjadi Karlahut.

Keempat daerah itu adalah Rokan Hilir dengan luas lahan 400 hektare, Pelalawan 232 hektare, Bengkalis dengan 177 hektare, dan Kota Dumai dengan total luas lahan yang terbakar mencapai 124 hektare.

Dari luas lahan yang terbakar tersebut, 1.125 hektare sudah berhasil dipadamkan. Hanya saja, Komandan Korem 031 Wira Bima sekaligus Ketua Satgas Karlahut Riau Mayjen TNI Nurendi, menyebut bahwa setelah dipadamkan, lahan tersebut bisa terbakar kembali karena cuaca yang cukup panas dan kontur tanah gambut.

Satelit Lapan Deteksi 232 Hotspot Jelang Puncak Kemarau



Kondisi tak kalah buruk juga terjadi di Provinsi Jambi. Di daerah ini, kebakaran lahan gambut terus meluas. Sejak Senin 27 Juli 2015, Jambi terus terkungkung kabut asap menyesak mata dan pernapasan.

Upaya penanganan kebakaran kali ini sangat menyulitkan. Sebab, sudah sejak sepekan, petugas di lapangan yang hendak mencegah rambatan api yang kini sudah menjalar ke Taman Hutan Raya Jambi tidak memiliki akses air.

"Kobaran api di titik terjauh tidak bisa kami jangkau. Stok air untuk membantu pemadaman sangat terbatas," ujar Kepala BNPB Jambi, Arif Munandar, Selasa, 28 Juli 2015.

Hingga kini, berdasarkan citra satelit, terpantau lebih dari 70 titik api bermunculan di Jambi. Status kesiagaan juga sudah disiapkan menuju ke level siaga darurat.

"Kabut asap makin pekat. Terutama pada waktu pagi dan petang. Asapnya membahayakan," ujar Arif.

Kenapa Selalu Terjadi?

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bahwa ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) makin nyata, jika tidak diantisipasi secara intensif. Bukan hanya fokus pada pemadaman, tetapi upaya pencegahan harus ditingkatkan.

"Jika tidak, kebakaran hutan dan lahan bakal terulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Apalagi tahun 2015, El Nino moderat makin menguat sehingga diperkirakan kemarau hingga November 2015," kata Sutopo, Minggu 26 Juli 2015.

Menurut Sutopo, Riau sebagai daerah langganan karhutla tetap saja terbakar. Dari 122 hotspot tersebar di Bangkalis 17, Kampar 16, Dumai 7, Kuansing 4, Pelalawan 44, Rohil 5, Rohul 2, Siak 5, Inhil 8, dan Inhu 14.

"Asap menutup wilayah Pekanbaru. Jarak pandang di Pekanbaru pada pagi hari hanya 1 km, karena tertutup asap karhutla. Sedangkan di Dumai 3 km, Pelalawan 3, dan Rengat 3 km tertutup kabut," tuturnya.

Dia mengingatkan bahwa bencana asap dapat berulang kembali dan menimbulkan dampak besar. Kerugian ekonomi karlahut di Riau pada Februari-April 2014 sekitar Rp20 triliun, 2.398 hektare cagar biosfer terbakar, 21.914 hektare lahan terbakar, 58.000 orang menderita ISPA, dan sekolah diliburkan.

Sutopo mengungkapkan, bencana tersebut selalu terjadi, karena faktor manusia. Kebakaran yang ada bukan akibat alam atau cuaca panas ekstrem.

"99,99 persen sengaja dibakar," kata Sutopo saat berbincang dengan VIVA.co.id.

Sutopo mengakui, sebenarnya upaya pencegahan sudah dilakukan. Misalkan dengan menerbitkan UU, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan daerah.

"Tapi, tetap saja dibakar," ujar Sutopo.

Oleh karena itu, menurut dia, kunci utama penanggulangan kebakaran hutan, lahan serta kabut asap adalah penegakan hukum yang keras dan tegas. Tanpa pandang bulu, sehingga memberikan efek jera pada pelaku pembakaran.

"Di Riau sudah ada 30 tersangka. Namun, mereka adalah orang yang disuruh membakar. Dapat biaya Rp500-700 ribu untuk membakar hutan," ujar dia.

Siapa yang menyuruh orang-orang itu? Sutopo mengaku tidak mengetahui.

"Masyarakat biasa juga turut memberikan andil. Mereka sering membakar rumput, atau kebun yang dampaknya kemudian bisa menimbulkan kebakaran hutan, lahan, dan kabut asap," tuturnya.

Walaupun demikian, Sutopo mencatat penegakan hukum bagi para pelaku pembakar hutan sangat lambat dengan prosedur yang panjang. Hukuman yang dijatuhkan pada mereka pun ringan.

"Akibatnya, efek jera tidak ada," kata Sutopo.

Sutopo menambahkan, perkebunan yang dibakar juga bisa dilihat dari satelit. Begitu ketahuan, pemerintah berwenang seharusnya bisa menegur. Dan setelah ditegur, tetapi tidak ada perbaikan, maka izin mereka sebaiknya dicabut.

"Tak hanya perkebunan milik swasta, bahkan Taman Nasional Tesso Nilo juga dibakar. Mereka ini pelaku illegal logging. Setelah lahan terlantar, dibuat perkebunan," tuturnya.
 
BNPB tahun ini mengalokasikan dana sebesar Rp385 miliar untuk penanggulangan bencana kebakaran hutan, lahan, dan kabut asap. Sementara itu, tahun lalu sebanyak Rp400 miliar lebih.

Jelang Puncak Kemarau,Titik Api di Sumatera Meningkat

Sutopo optimistis, jika pencegahan dan penegakan hukum dilakukan secara total dan serius, kebakaran hutan tersebut bisa diatasi. Seperti yang mereka lakukan pada 2013 dan 2014, yaitu ketika melibatkan tentara dari Jakarta untuk turun langsung ke hutan-hutan melaksanakan operasi pemadaman.

"Dalam waktu dua minggu selesai."

Mulai Menyebar

Dampak kebakaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Sumatera mulai menyelimuti Kota Medan, Sumatera Utara. Secara perlahan, gumpalan kabut tipis mulai mengitari wilayah ini sejak Senin, 27 Juli 2015.

Staf Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan, Cristina, mengatakan, munculnya kabut asap disebabkan oleh arah angin yang berembus dari arah Tenggara hingga ke Barat Daya.

"Arah angin menyebabkan sebaran asap memasuki sejumlah wilayah di Sumatera Utara," katanya, Rabu, 29 Juli 2015.

Kondisi ini diperparah dengan pertumbuhan awan yang cukup tebal di wilayah Kota Medan. "Memang terjadi percampuran antara awan dengan asap," dia menambahkan.

Pantauan terakhir citra satelit BMKG Wilayah I menyebutkan, jumlah titik api di sepanjang Pulau Sumatera tercatat 81 titik.

"Yang paling banyak terdapat di Provinsi Riau dengan 55 titik, 14 di Sumatera Selatan, dan delapan di Jambi," dia menjelaskan.

Meski diselimuti kabut asap, aktivitas penerbangan di Bandara Kualanamu di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara masih berjalan normal.

"Jarak pandang masih tiga kilometer dan belum mengganggu," katanya.

Tak hanya itu, dari pantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kabut asap di Sumatera tersebut juga mulai bergerak ke arah Malaysia dan Singapura. Kondisi angin yang menuntun asap ke arah tersebut.

"Iya, benar (asap mengarah ke Singapura dan Malaysia) angin bergerak ke utara dan timur laut," kata Kepala BMKG Pekanbaru, Sugarin, kepada VIVA.co.id, Minggu, 28 Juni 2015.

Kencangnya angin juga mengakibatkan pemadaman api sulit dilakukan. Bahkan, memperburuk keadaan, karena membuat api semakin besar.

"Selain kabut asap dari Riau sendiri, ada juga kontribusi Jambi dan Palembang," tuturnya.

Namun, menurut dia, asap ini diperkirakan tidak mengganggu negara-negara tetangga tersebut. Sebab, saat ini cuaca di Singapura masih bagus sehingga belum berdampak.

"Tapi, kalau di Riau pasti akan berdampak," ungkapnya.

Langkah Pemerintah

Jauh hari sebelumnya, pada Rabu, 11 Februari 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, berjanji akan serius membenahi sistem pengelolaan kawasan hutan produksi tanpa adanya praktik pengelolaan akses bebas (open access).

Menurutnya, kawasan hutan yang open access berpotensi meningkatkan tindak pembalakan liar yang menjadi salah satu pemicu utama terjadinya kebakaran hutan.

Dia juga meminta kepada para pelaku dunia usaha agar mengantisipasi potensi bencana kebakaran hutan dan lahan.

"Perlu adanya patroli, dan hindari praktik open access oleh swasta pemegang izin pengelolaan hutan," ujar Siti.

Siti menjelaskan, harus ada niat dan  kemauan kuat untuk menangani persoalan pembakaran hutan tersebut secara bersama-sama. Dia meminta, setiap kali ada titik api, tindakan pemadaman harus dilakukan secara cepat.

Di samping itu, masyarakat dan swasta juga harus aktif menginfokan kepada aparat bila ada titik api. Di sisi lain, pemantauan terhadap sejumlah titik api harus dilakukan secara ketat. Targetnya, kata Siti, jumlah titik api di 2015 harus lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

"Titik api tahun ini harus lebih rendah dari 2014," kata Siti.

Mantan Sekjen DPD itu juga menyampaikan, pentingnya membuat sekat kanal agar gambut tetap dalam kondisi basah.  Hal ini dinilai bisa memperkuat langkah pencegahan dalam kebakaran hutan.

"Utamakan tindak pencegahan," tambah Siti.

Tidak hanya itu, selain penindakan, adanya pemberian penghargaan bagi siapa pun yang berkontribusi dalam upaya mengurangi kebakaran hutan juga perlu menjadi perhatian. Pentingnya mengenali ekosistem gambut dan tata kelolanya juga sangat optimal. Perlu adanya kepedulian dan  keterlibatan masyarakat serta upaya pendampingannya.

"Dan yang penting juga keserasian kerja unsur-unsur di lapangan, seperti Polres, Pol PP, Polsus Manggala Agni dan Brigade Perkebunan," jelas dia.

Sebab bagaimanapun, lanjut Siti, sangat penting bagi semua pihak untuk memelihara semangat dan langkah-langkah kerja bahu membahu, gotong royong.

"Terutama dengan kepemimpinan Gubernur serta Bupati dan Wali Kota," ucap Siti.

Meski demikian, Siti mengklaim terjadi penurunan tingkat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama tahun 2015. Berdasarkan pantauannya, untuk tahun 2015, kebakaran lahan hanya terjadi 37 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2014 lalu.

"Pada tahun lalu, jumlah titik api yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia pada periode yang sama ditahun 2014 ada sekitar 9.254 titik api (hotspot), dibanding sekarang hanya ada 3.500 titik dengan periode yang sama, dengan demikian telah terjadi penurunan yang sangat tajam yang artinya turun sebesar 37 persen,” kata dia, di Kalimantan Barat, Jumat, 10 Juli 2015.

Menurut Siti, data itu menjadi suatu kemajuan yang sangat baik, karena meskipun pembakaran lahan masih terjadi. Namun, setidaknya ada penurunan yang sangat signifikan dibanding tahun lalu.

Dia juga setuju dengan peralatan yang akan diusukan dan akan membantu sebagian peralatan yang dibutuhkan di lapangan melalui BNPB.

"Dengan diberikannya bantuan peralatan untuk ke depannya kita harapkan agar hal ini bisa terus menurun, bahkan nanti tidak ada lagi pembakaran lahan. Untuk menurunkan angka pembakaran lahan itu, tentu diperlukan kerjasama yang baik dari semua pihak, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, Polda, TNI, pihak swasta, bahkan sampai masyarakat sekali pun," katanya.

Namun yang lebih penting, lanjutnya, adalah peran perusahaan swasta, khususnya yang bergerak di bidang perkebunan. Karena sejauh ini, perusahaan swasta memiliki luasan lahan olahan yang cukup besar hampir di seluruh wilayah Indonesia.

"Jika perusahaan swasta tidak ikut dilibatkan, tentu ini akan sulit untuk melakukan upaya pencegahan dan pemadaman api, bila terjadi kebakaran lahan," ujarnya.

Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Christiandy Sanjaya, mengharapkan peran seluruh lapisan masyarakat, swasta, untuk bersama-sama mensosialisasikan seluruh masyarakat maupun perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan agar dapat bekerja sama untuk tidak membuka lahan dalam bentuk apapun.

Untuk kepentingan apapun dengan cara membakar, karena menurut Wagub akibat dari pembakaran lahan atau hutan tidak hanya di lokasi pembakarannya saja yang berdampak kabut asap, akan tetapi seluruh wilayah akan terkena dampaknya.

Walaupun koordinasinya telah dilaksanakan dengan baik antara pemerintah pusat dengan daerah dalam hal ini Gubernur, Polri dan TNI, daerah dengan kabupaten hingga kecamatan dan desa.

Namun karena adanya musim kemarau yang setiap tahun terjadi bisa saja kebakaran tersebut terjadi baik itu disengaja maupun tidak disengaja.

"Namun itu terjadi akibat ada unsur manusianya. Apalagi dilakukan dengan sengaja, untuk itu diharapkan semua pihak untuk bersama-sama menjaga agar kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi di masa mendatang," kata Christiandy.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan untuk mengendalikan karhutla, Presiden Joko Widodo telah mengintruksikan pada Januari 2015 bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai penanggung jawab.

"BNPB mendukung Kemen LHK dan mendampingi BPBD di daerah. Gubernur dan Bupati/Walikota menjadi penanggung jawab di daerahnya," ujarnya.

Menurut Sutopo, salah satu upaya mengatasi karhutla adalah dengan modifikasi cuaca atau hujan buatan.

"BNPB bersama BPPT, KemenLHK dan TNI AU terus melaksanakan hujan buatan di Riau dan Sumatera Selatan," katanya.

Di Riau hujan buatan dilakukan sejak 22 Juni 2015 hingga sekarang dengan pesawat CN-295 TNI AU. Sebanyak 36,5 ton garam (NaCl) telah ditaburkan ke dalam awan dari pesawat sebanyak 21 kali penerbangan.

Di Sumatera Selatan, hujan buatan menggunakan pesawat Casa 212-200 Pelita Air Service sejak 9 Juli 2015 dengan menaburkan 5 ton garam.
 
"Untuk hujan buatan selama 90 hari di Sumatera dan Kalimantan, BNPB mengalokasikan Rp40 miliar. Biaya ini sebagian besar untuk operasional pesawat terbang. Pemda Kalimatan Barat juga sudah mengajukan dilakukan hujan buatan mengatasi karhutla," tutur Sutopo.

Sutopo mengungkapkan, upaya pemadaman karhutla masih terus dilakukan, baik di darat dan udara. BNPB mengerahkan dua pesawat terbang untuk operasi hujan buatan di Riau dan Sumsel.

"BNPB juga menyewa helicopter berkapasitas besar untuk pemboman air dan ditempatkan di Riau 2 unit (heli Sikorsky dan MI-171) dan di Palembang 1 unit (heli MI-171) yang sekali terbang mampu mengangkut 4.500 liter air untuk water bombing," ujarnya.

Selain itu, BNPB masih mengusahakan pinjam pesawat untuk hujan buatan di Kalimantan yang operasionalnya dilakukan BPPT. Begitu pula sewa pesawat dan heli ditambah sesuai permintaan Pemda dan ancaman karhutla yang ada. BNPB sifatnya memberikan pendampingan dan perkuatan kepada Kemen LHK dan BPBD.

"Kepala daerah dan aparat yang ada diharapkan aktif turun ke lapangan untuk melakukan pencegahan di daerahnya. Pencegahan lebih efektif daripada pemadaman," kata Sutopo.

1,7 Juta Orang Indonesia Terdampak Bencana dalam Enam Bulan



Mantan Panglima TNI Jenderal Moeldoko angkat bicara mengenai bencana kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap selalu berulang dan seolah sudah menjadi tradisi. Dia menyebutkan harus ada upaya penanganan di luar kebiasaan untuk menanganinya.

"Harus ada solusi out of the box yang di luar kebiasan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan," kata Moeldoko usai menyaksikan peluncuran Desa Bebas Api di Kerinci Pelalawan, Riau, Selasa 28 Juli 2015.

Selama ini, menurut Moeldoko, bencana kebakaran mayoritas ditengarai oleh adanya kebutuhan pengolahan olah masyarakat. Sementara itu, di sisi lain, warga tak memiliki peralatan yang memadai.

"Jadi, daripada mengeluarkan dana besar untuk pemadaman, lebih baik menyediakan perlengkapan dan bantuan untuk pengolahan lahan yang tentu lebih murah," katanya.

Desa Bebas Api

Bersamaan dengan itu, PT Riau Andalan Pulp and Paper resmi meluncurkan program Desa Bebas Api. Sebanyak sembilan desa di sekitar Sungai Kampar akan dilibatkan menjadi percontohan.

Menurut Direktur RAPP, Rudi Fajar, program Desa Bebas Api diklaim menggunakan lima pendekatan, termasuk insentif bagi masyarakat yang tidak membakar lahan, membangun kepemimpinan dalam pencegahan kebakaran dan memberikan pertanian alternatif yang berkelanjutan.

Termasuk juga untuk pemantauan kualitas udara serta penyuluhan tentang dampak negatif kebakaran.

"Fokus pada masyarakat, bekerja sama pemerintahan setempat dan LSM, adalah kunci untuk menyelesaikan akar masalah kebakaran hutan dan lahan," katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Edwar Sanger, mengatakan bahwa ada tiga upaya yang dilakukan saat ini untuk memadamkan titik api. Seperti menurunkan tim dari berbagai komponen ke lokasi titik api, water bombing, dan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

"Hari ini sudah lebih 20 kali penerbangan water bombing yang dilakukan ke beberapa titik yang sulit. Termasuk juga operasi TMC di Pelalawan, Dumai, dan Pekanbaru," ucapnya.

Ia menambahkan, Pemprov Riau saat ini sudah mengerahkan seluruh kekuatan yang ada dan bersinergi dengan Polri, TNI serta pihak terkait lainnya.

"Kita berharap karlahut bisa diatasi, sehingga kabut asap tak terjadi dan semua aktivitas berjalan lancar," ujar Edwar.

Adanya bencana kebakaran hutan, lahan, dan kabut asap tersebut tentu membuat masyarakat Indonesia resah. Tapi, tak berhenti di sana, ancaman bencana lain juga masih menanti, yaitu kekeringan yang sudah terjadi di sejumlah daerah seperti di Pati, Boyolali (Jawa Tengah), Bantul (Yogyakarta), wilayah Jawa Timur, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Tangerang Selatan, Banten dan lainnya.

Laporan: Bayu Alfarizi

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?

Di sejumlah wilayah Sumatera kini mulai terjadi kebakaran hutan lagi.

img_title
VIVA.co.id
9 Agustus 2016