Penyakit Korupsi Kepala Daerah

Mural Himbauan Pilkada DKI Jakarta
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin
VIVA.co.id
Terkuak, Ini Peran 5 Tersangka Baru Kasus Korupsi Timah
- Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho kembali memperpanjang daftar kepala daerah di Indonesia yang tersandung hukum. Senin malam, 3 Agustus 2015, ia ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama istri mudanya Evy Susanti.

5 Orang jadi Tersangka Baru Korupsi Timah, Siapa Saja Mereka?
Pada akhir Juli lalu, Gatot memang telah ditetapkan tersangka oleh KPK atas perkara suap terhadap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan, Sumatera Utara.

Istri Kena Tuduhan Korupsi, PM Spanyol Bersiap Mengundurkan Diri
Bersama Ketua Hakim PTUN Tripeni Irianto Putro dan dua hakim Dermawan Ginting dan Amir Fauzi serta tak lupa pengacara beken OC Kaligis dan anak buahnya M Yagari Bhastara ikut tergulung dalam kasus ini. 

Sejatinya Gatot bukan kepala daerah pertama yang terjerat korupsi. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut  hingga tahun 2014 sebanyak 343 kepala daerah di Indonesia yang kini berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebagian besarnya tersandung dalam korupsi pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak, retribusi daerah hingga hibah dan bantuan sosial.

"Komitmen antikorupsi belum memadai. Integritas lemah serta birokrasi yang rentan intervensi kepentingan menjadi penyebabnya," ujar Tjahjo awal Februari silam.

VIVA.co.id mencoba merangkum lima kasus populer yang menyangkut kepala daerah dari ratusan orang yang tersandung.

Pertama, sebut saja kasus Gubernur Riau Annas Maamun. Ia terjaring operasi tangkap tangan KPK pada September 2014. Annas diduga merugikan negara hingga Rp5 miliar ata praktik suap.

Selanjutnya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Ia divonis penjara tujuh tahun atas perkara korupsi pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada tahun anggaran 2011-2013.

Lalu, Wali Kota Palembang Romi Herton. Bersama istrinya, Masyito, ia digulung atas pengembangan kasus dari penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Keduanya dituding memberi suap kepada Akil senilai Rp14,14 miliar.

Berikutnya ada Bupati Bogor Rachmat Yasin. KPK menangkap tangan Yasin atas dugaan suap perizinan tukar menukar kawasan hutan di Bogor dengan nilai kerugian negara mencapai Rp4,5 miliar.

Dan kemudian ada Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang. Mantan pengacara terpidana korupsi Anggodo Widjojo ini disangkan memberi uang suap kepada Ketua MK Akil Mochtar untuk pengurusan sengketa pilkada di Tapanuli Tengah.

Tradisi Berulang?
Tahun ini, pesta pemilihan kepala daerah kembali digelar pada 9 Desember 2015.

Sebanyak sembilan daerah pemilihan di sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 36 kota akan menjadi pelaksana pertama.

Selanjutnya pada tahun 2017 di tujuh provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota akan digelar. Dan berlanjut pada Juni 2018 akan diikuti sebanyak 17 provinsi dengan 115 kabupaten dan 39 kota.

Tahun ini juga berkat putusan Mahkamah konstitusi, mantan terpidana bisa mengikuti pilkada tanpa harus menunggu lima tahun seusai menjalani hukumannya. Namun dengan prasyarat mau mempublikasikannya ke publik tentang perkara yang pernah disangkakan kepadanya.

Berkat putusan itu juga kini sejumlah mantan terpidana korupsi yang baru dibebaskan kurang dari setahun  ikut mendaftar di Pilkada serentak 2015.

Di Semarang contohnya. Satu dari tiga pasangan calon yang mendaftar yakni Soemarmo HS dan Zuber Safawi adalah mantan terpidana kasus suap  pada tahun 2010-2012.

Soemarmo dihukum tiga tahun penjara dan baru menyelesaikan kurungannya pada September 2014.

Lalu di Sulawesi Utara. Dua mantan terpidana korupsi yakni Jimmy Rimba Rogi dan Elly Engelbert Lasut, sudah memastikan diri terjun kembali di pilkada.

Jimmy adalah mantan Wali Kota Manado yang divonis tujuh tahun penjara dan baru menghirup udara bebas pada Maret 2015. Ia disangka korupsi APBD Kota Manado pada tahun 2006 dengan kerugian negara mencapai Rp64 miliar.

Sedangkan Elly Lasut, diketahui pernah menjadi narapidana korupsi Surat perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif dan dana pendidikan GNOTA Elly dihukum tujuh tahun penjara dan baru dibebaskan pada November 2014.

Berikutnya di Sidoarjo Jawa Timur. Mantan Ketua DPRD Sidoarjo periode 1999-2004 yang menjadi terpidana kasus korupsi APBD senilai Rp21,9 miliar yakni Utsman Ihsan dipastikan melenggang di pilkada tahun ini.

Contoh di atas hanya sekadarnya. Sebab masih ada beberapa calon lain yang juga pernah tersandung kasus hukum. Namun secara tersirat, jelas fenomena ini cukup menghantui bila nantinya pilkada belum tentu akan menghasilkan calon tak kredibel.

Kebijakan ini memang sudah menjadi konsekuensi. Banyaknya kepala daerah yang kini terjungkal kasus korupsi dan hukum, menjadi momok kekhawatiran bila potensi ini memang akan berulang meski pilkada tahun ini diklaim lebih baik.

"Pilkada 2015 berpotensi melahirkan pemimpin daerah yang tak kapabel. Buktinya tak sedikit kepala daerah latar belakangnya bermasalah," kata anggota DPR dari fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo memberikan pandangannya terkait pilkada tahun ini.

Telusur Rekam Jejak
Secara keseluruhan, perkara Gatot Pujo dan sejumlah kepala daerah lain yang sudah terlanjur tersandung hukum, pemilihan kepala daerah baru di 2015 harus menjadikan ini rujukan.

Baik publik maupun negara patut menelusuri rekam jejak para calon. Sehingga tidak ada lagi kejadian usai terpilih menjadi kepala daerah, ada yang terbelit korupsi ataupun berintegritas rendahan.

Badan Pengawas Pemilu mengaku akan mengggandeng Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan terkait para calon. Langkah itu diyakini mengurangi peluang munculnya kepala daerah yang tersangkut usai menjabat.

Begitupun dengan Kejaksaan Agung. Secara prinsip, lembaga ini sudah memastikan akan membantu menelsurui rekam jejak seluruh yang maju di Pilkada 2015.

"Kejaksaan akan memastikan semua calon kepala daerah bersih dan tidak ada catatan tindak pidana atau apapu pun," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tony Spontana di Semarang.

Setidaknya, mungkin harapan untuk mendapatkan kepala daerah yang berintegritas dan bebas dari praktik korupsi dapat disaring lebih awal.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya