Sengkarut 'Warisan' Yayasan Soeharto

Soeharto dan putra-putrinya
Sumber :
  • Soeharto dan putra-putrinya

VIVA.co.id - Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan atas permohonan kasasi yang diajukan Presiden RI, yang diwakili Jaksa Agung, terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa Yayasan Supersemar. Putusan bernomor 140PK/PDT/2015 itu rencananya akan segera dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, selaku pengadilan tingkat  pertama yang mengadili kasus tersebut.

Putusan MA itu menyatakan Yayasan Supersemar divonis membayar ganti rugi sebesar US$315 juta dan Rp139,2 miliar kepada Pemerintah Indonesia. Yayasan milik Presiden RI kedua Soeharto itu dinyatakan terbukti menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan.

Sejatinya, dana yang dikelola Yayasan Supersemar disalurkan untuk beasiswa pendidikan pelajar dan mahasiswa yang kurang mampu. Dana Yayasan Supersemar ini bersumber dari Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1976 yang menyatakan agar BUMN menyisihkan lima persen dari laba bersih untuk Yayasan Supersemar.

Juru Bicara MA, Suhadi, mengatakan salinan putusan atas permohonan kasasi yang diajukan Presiden RI ini akan segera dikirimkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku pengadilan tingkat pertama yang mengadili perkara tersebut. Dengan salinan putusan tersebut, pihak pengadilan negeri bisa segera mengeksekusi hasil putusan.

"Pihak yang kalah (Yayasan Supersemar) kemudian akan diberi kesempatan untuk secara sukarela memenuhi isi putusan," ujar Suhadi dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa, 11 Agustus 2015.

Bila pihak yang memenangkan perkara (Pemerintah Indonesia) masih merasa belum terpenuhi haknya setelah putusan MA resmi diterbitkan, Suhadi mengatakan, Pemerintah Indonesia kemudian bisa secara resmi meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melaksanakan eksekusi.

Nantinya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan mengeluarkan surat eksekusi, atau dengan kata lain memaksa pihak yang kalah dalam perkara ini untuk membayar ganti rugi kepada Pemerintah Indonesia sebesar US$135 juta dan Rp139,2 miliar.

Jumlah tersebut bila dirupiahkan dengan kurs 1 dolar AS sebesar Rp13.500, maka uang yang dibayarkan pihak tergugat mencapai Rp4,25 triliun, dan ditambah Rp139,2 miliar atau seluruhnya denda yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar mencapai Rp4,389 triliun

Menurut Suhadi putusan yang dikeluarkan MA telah bersifat berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Pihak tergugat tak bisa lagi melakukan upaya hukum ke lembaga pengadilan lainnya untuk mengoreksi putusan MA. "Upaya PK, baik pidana maupun perdata, menurut MA hanya bisa dilakukan satu kali," ujar Suhadi.

Ketua I Ikatan Hakim Indonesia ini menegaskan, dalam perkara ini Kejaksaan menggugat dua pihak, yaitu Soeharto dan Yayasan Supersemar untuk membayar kerugian negara. Namun dalam putusannya, MA hanya mengabulkan permohonan kepada tergugat II, yakni Yayasan Supersemar. Dengan demikian, putusan MA ini tidak berlaku bagi Soeharto.

"Jadi, yang dihukum (membayar denda) adalah Yayasan Supersemar," tegas Suhadi. Dia menambahkan, ahli waris tidak termasuk sebagai tergugat sehingga tidak dikenai putusan.

Respon Cendana


Putera Presiden RI kedua Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau yang akrab disapa Tommy Soeharto menanggapi dingin putusan MA yang memerintahkan Yayasan Supersemar membayar ganti rugi sebesar US$13,5 juta dan Rp139,2 miliar kepada Pemerintah Indonesia terkait perkara penyelewengan dana Beasiswa Supersemar.

"Berarti lulusan terbaik penerima beasiswa sejak tahun 70 harus urunan nih, hitung-hitung untuk tambah biaya kampanye yang akan datang. #carimodal?"tulis Tommy melalui akun Facebooknya, Hutomo Mandala Putra.

Dalam pernyataannya, Tommy justru menyinggung kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut dia, dana BLBI yang digulirkan saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu cukup menalangi kas negara. "Daripada utang terus. Ekonomi kreatif model baru ya pinjam dan pinjam, gadai dan gadai," sindir Tommy.

Tommy menyayangkan beasiswa Supersemar yang sudah disebar sejak tahun 1970-an justru diminta untuk dikembalikan negara. Sebaliknya kata dia, pengusutan kasus BLBI malah diendapkan.

"Maklum takut kena jewer. Ini pembenaran yang salah berkedok dendam. Apa sudah siap menghadapi gugatan dari para penerima beasiswa yang sudah pada menjadi orang besar. Bahkan di lingkungan Anda sendiri ada beberapa penerima dana bantuan beasiswa tersebut," tegas Tommy.

Putra bungsu Soeharto ini menuturkan beasiswa Supersemar dikeluarkan untuk membiayai pendidikan putra putri di Tanah Air, dan bukan untuk membiayai negara lain apalagi komunis.

"Ternyata tuntut warisan, hemm, bagaimana dengan warisan Orde Lama tentang paham yang salah? Tentang tanda tangan kontrak dengan Pemerintah AS? Keluarga Kami tidak pernah mengungkit masalah rezim sebelumnya, ajaibnya justru orang rezim sebelumnya yang berusaha menghembuskan konflik," tulisnya lagi.

Pejabat Mahkamah Agung Pakai Uang Suap untuk Beli Mobil

Tommy menganggap, saat ayahnya berkuasa selama 32 tahun, ayahnya tidak pernah mendaulat sebagai Presiden seumur hidup. Tommy justru mengungkit Presiden Soekarno yang mengakui dirinya sebagai presiden seumur hidup. Dia lantas mempertanyakan mengenai demokrasi yang selama ini disuarakan.

"Lalu, demokrasi macam apa yang selama ini didengungkan, apa demokrasi yang selalu disesuaikan dengan kepentingan asing atau dengan kepentingan ketenaran diri sendiri?" katanya lagi.

Sementara itu, Pengacara keluarga Soeharto, Juan Felix Tampubolon, menilai putusan MA terkait Yayasan Supersemar tidak tepat. Dia bahkan mempertanyakan bagaimana gugatan tersebut bisa dikabulkan MA, karena upaya PK kasus tersebut terkesan dipaksakan dan aneh.

"Semua bukti dokumen hanyalah fotokopi, dari saksi-saksi fakta yang diajukan jaksa kebanyakan tidak relevan dan tidak mendukung dalil-dalil jaksa," kata Juan Felix Tampubolon.

Sulit Dieksekusi


Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku pengadilan tingkat pertama yang mengadili kasus Yayasan Supersemar mengaku hingga Selasa sore belum menerima salinan putusan MA dengan nomor 140PK/PDT/2015, atas permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan pemerintah terhadap Yayasan Supersemar.

"Kami belum menerima berkas salinan putusan dari Mahkamah Agung, tadi sudah saya cek ke bagian perdata, belum ada," ujar Kepala Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Made Sutrisna saat dikonfirmasi VIVA.co.id, Selasa 11 Agustus 2015.

Made menyatakan apabila berkas salinan putusan dari Mahkamah Agung sudah diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pihak pengadilan tidak bisa serta merta langsung melakukan eksekusi. Menurut dia, banyak proses yang mesti dilakukan pengadilan.

"Kalau berkas sudah di PN selanjutnya akan dilakukan pemberitahuan kepada kedua pihak (pemohon dan termohon), sampai saat ini berkas berikut putusan belum diterima PN, jadi saya no comment dulu," ujar Made.

Made menjelaskan setelah pemberitahuan kepada pemohon dan termohon, pengadilan akan mempertemukan kedua belah pihak. Jika pihak termohon bersedia untuk melaksanakan sesuai dengan salinan putusan MA, maka pengadilan tidak perlu melakukan eksekusi terhadap termohon.

"Kalau pihak termohonnya bersedia tidak perlu kita eksekusi," katanya.

Jaksa Agung HM Prasetyo selaku eksekutor juga mengaku belum menerima salinan putusan MA. Oleh karenanya, Kejaksaan belum dapat mengambil sikap atas keputusan MA tersebut. "Kita belum tahu ada kendala atau tidak. Kita Pelajari dulu, baru kita tentukan sikap langkah kita," kata Prasetyo di Istana Bogor.

Dalam kasus tersebut, Prasetyo menyatakan Kejaksaan masih perlu melakukan telaah, karena kasus Yayasan Supersemar ini masuk ranah perdata yang membutuhkan instrumen lain untuk mengeksekusi, tak seperti putusan pidana. Akan tetapi, bila putusan tersebut telah inkracht, maka tidak ada alasan untuk tidak mengeksekusi.

"Kalau itu sudah jadi keputusan, kenapa tidak eksekusi," tegasnya.

Adapun soal eksekusi Yayasan Supersemar ini dinilai Pengamat Hukum Pidana dari  Universitas Indonesia Ganjar Laksmana Bonaparta akan sulit dilaksanakan pengadilan. Sebab kata Ganjar, sebelumnya tidak ada penyitaan harta yang dilakukan pihak pengadilan terhadap Yayasan Supersemar.

"Kalau ada penyitaan, tinggal dieksekusi. Kalau tidak ada? Susah," kata Ganjar ketika dihubungi, Rabu 12 Agustus 2015.

Ganjar menekankan, pengadilan tidak bisa sembarangan dalam merampas harta benda tergugat, sebagai pengganti denda yang harus dibayarkan keluarga Cendana. "Gimana cara merampasnya? Yang mana yang harus dirampas? Kan enggak bisa, enggak boleh sembarangan," tambahnya.

Salah Ketik


Kasus ini berawal saat Kejaksaan Agung mengendus tindakan Yayasan Supersemar memberikan pinjaman atau penyertaan modal untuk mendapatkan keuntungan. Kejaksaan menilai tindakan yayasan milik keluarga Cendana ini merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Meski anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yayasan memperbolehkan hal itu, pengalihan dana Yayasan ke pihak lain tersebut dinilai telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1976. Peraturan itu mengatur agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan lima persen dari laba bersih untuk Yayasan Supersemar.

Saat mengajukan gugatan pertama, Juli 2007 silam, Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara Dachmer Munthe menyatakan dana dari BUMN yang dikumpulkan yayasan tersebut seharusnya ditujukan untuk membiayai pendidikan pelajar dan mahasiswa kurang mampu.

Namun Kejaksaan menemukan hanya 2,5 persen laba bersih BUMN masuk ke yayasan, sedangkan 2,5 persen lainnya masuk ke pihak lain. Penyelewengan dana yayasan di antaranya mengalir ke beberapa perusahaan antara lain PT Bank Duta US$420 juta pada 22 September 1990. Kemudian PT Sempati Air Rp 13,173 miliar pada 23 September 1989 hingga 17 November 1997, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp150 miliar.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Maret 2008 menyatakan Yayasan Supersemar bersalah karena menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan. Hakim menetapkan Yayasan harus membayar US$105 juta dan Rp46 miliar kepada negara. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Februari 2009.

Merasa belum puas dengan putusan tersebut, Kejaksaan kemudian mengajukan kasasi. Dalam putusan yang diketok pada 28 Oktober 2010 itu, Majelis Kasasi MA memerintahkan Yayasan Supersemar tetap membayar uang denda dalam dua bentuk mata uang, yakni dolar AS dan rupiah.

Putusan tersebut sempat kontroversial karena terjadi salah ketik nominal angka ganti rugi yang harus dibayarkan tergugat.

Di bagian rupiah, seharusnya Supersemar membayar 75 persen dari Rp185.918.048.904,75 (Rp185,9 miliar). Tapi, ada tiga angka yang tidak dituliskan majelis kasasi, yaitu angka '048.' Akibatnya, nominal yang harus dibayar Yayasan Supersemar pun salah.

Padahal, apabila pengutipan angka benar, jumlah yang harus dibayar oleh Supersemar adalah Rp139,2 miliar. Sedangkan di bagian mata uang dolar, putusan sudah tepat. Di mana Yayasan Supersemar harus membayar 75 persen dari US$420.002.910. Sehingga total, yayasan milik keluarga Cendana itu seharusnya membayar US$315.002.183 dan Rp139,2 miliar ke negara.

MA menilai Yayasan Supersemar menyelewengkan dana hibah yang mereka terima dengan mengalirkannya ke sejumlah perusahaan. Padahal, yayasan ini seharusnya menyalurkan uang-uang itu dalam bentuk beasiswa bagi pelajar pintar tapi tak mampu.

Putusan atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung RI ini sebenarnya hanya memperbaiki kesalahan ketik nominal angka ganti rugi yang harus dibayar Yayasan Supersemar. Selebihnya, MA menegaskan bahwa pertimbangan dan amar putusan itu sudah tepat. (umi)

Logo Mahkamah Agung.

KPK Dukung MA Lakukan Lelang Jabatan Sekretaris

Nurhadi Abdurrachman mengundurkan diri dari jabatan tersebut.

img_title
VIVA.co.id
3 Agustus 2016