Sampai Kapan Rupiah Terus Terpuruk

Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA.co.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antarbank Jakarta kembali menyentuh level terendah pada perdagangan Selasa, 18 Agustus 2015. Seperti tidak ada habisnya, kekuatan rupiah terus diuji berbagai faktor, terutama di tingkat global.

Rupiah Melemah, Tertekan Gejolak Ekonomi Global
Isu kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve, berhasil melemahkan rupiah selama hampir tiga tahun terakhir ini. Ketidakpastian kapan kebijakan itu akan diterapkan, membuat rupiah terus terombang-ambing.

Sikap Pasar Modal dan Rupiah Soal Aksi Damai 4 November
Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah terakhir kali berada di posisi terbaiknya pada 11 Juli 2013,  di level Rp9.980 per dolar AS. Kala itu desas-desus kenaikan suku bunga AS mulai berhembus, dan langsung keesokan harinya rupiah diperdagangkan di level Rp10.024 per dolar AS. 

Wall Street Catat Rekor Anjlok Terlama Sejak Krisis 2008
Sejak saat itu hingga hari ni rupiah tidak pernah lagi menyentuh level di bawah Rp10.000 per dolar AS. Bahkan cenderung mengalami pelemahan hingga data per 18 Agustus 2015 yang diiperdagangkan di level Rp13.831 per dolar AS.   

Pada 2014, bank sentral AS sebetulnya telah mengeluarkan keputusan untuk tidak menaikan suku bunganya, dengan pertimbangan kondisi ekonomi di negara itu belum stabil benar. Namun ditegaskan, kebijakan tersebut pasti akan dilakukan paling lambat semester II 2015. 

Momentum itu sebenarnya merupakan waktu yang tepat untuk pemerintah membenahi fundamental perekonomian Indonesia. Sehingga di saat kebijakan itu dikeluarkan ekonomi dalam negeri dapat lebih tahan menghadapi gejolak yang terjadi di pasar keuangan. Namun, hal tersebut tidak berhasil dilakukan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).  

Ada beberapa faktor yang mendasari penguatan tersebut sulit terwujud. Kala itu Indonesia sedang mempersiapkan momen penting pergantian presiden dan pemerintahan. Permasalahan baru timbul, kisruh politik memperburuk kinerja rupiah.

Hal tersebut diperparah dengan penurunan harga komoditas dunia akibat melemahnya ekonomi China. Ekspor Indonesia anjlok, pertumbuhan ekonomi pun terus mengalami perlambatan hingga saat ini.  
 
Pada tahun itu, rupiah terus mengalami pelemahan dan berfluktuasi di level Rp11.000 hingga Rp12.900 per dolar. Terpilihnya presiden baru Joko Widodo pun tidak memberikan pengaruh signifikan.

Di hari pelantikannya pada 20 Oktober 2014, rupiah hanya menguat sekitar 200 basis poin di posisi Rp12.041 dari perdagangan sebelumnya pada tanggal 17 Oktober di level Rp12.222 per dolar AS. Penguatan tersebut hanya terjadi kurang dari dua pekan. Setelah kabinet Jokowi terbentuk dan baru mau mulai bekerja, rupiah kembali melemah dan diperdagangkan Rp12.264 per dolar AS pada 1 Desember 2014. 

Sentimen pemerintahan baru dan segala program kerja yang dibuat, tidak mampu menepis pengaruh global yang terus menekan rupiah. Bahkan, masuk awal 2015 ketika program-program Jokowi sudah mulai terlihat arahnya, belum juga mendapat respons positif dari pasar keuangan, malah cenderung semakin memburuk. 

Pemerintah dan otoritas moneter terus berkolaborasi mempertahankan rupiah sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia. Namun, pada akhir triwulan I 2015 tepatnya 5 Maret 2015, untuk pertama kalinya rupiah menembus level Rp13.022 per dolar AS. 

Rupiah bergerak sesuai fundamental ekonomi Indonesia. Pada Mei, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen. Anjlok dari triwulan sebelumnya yang sebesar 5,02 persen. 

Sejak itu rupiah terus berfluktuasi di level Rp12.900- Rp13.400 per dolar AS. Penguatan sempat terjadi, karena ada isu yang berhembus bahwa bank sentral AS akan mempercepat kenaikan suku bunganya pada Juni, namun, isu itu hanya berhembus sesaat, setelah hasil rapat The Fed memutuskan bahwa kebijakan itu akan tetap dilakukan sesuai jadwal pada September ini. 

Bulan ini, setelah sentimen The Fed sudah mereda dan pasar keuangan sudah mulai menyesuaikan, cobaan terhadap rupiah ternyata belum berakhir. Pada 11 Agustus 2015, People's Bank of China (PBoC) atau bank sentral China mengimplementasikan kebijakan terbaru dengan melakukan devaluasi Chinese Yuan Renminbi (CNY) rates sebesar 1,9 persen. 

Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan daya saing ekspor dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Keputusan devaluasi ini memicu penjualan saham dan pelemahan mata uang secara global, dimulai dari kawasan Asia, diikuti Eropa, tidak terkecuali AS. 

Di Indonesia sendiri di hari yang sama, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 2.66 persen ke level 4,622.59 dan rupiah melemah 0.41 persen ke level Rp13,607 per dolar Amerika Seikat (AS).

Walaupun dalam rilis resmi pertamanya, PBoC  menyatakan bahwa devaluasi ini adalah 'one off devaluation' atau hanya sekali dilakukan. Tapi, kenyataannya Rabu tanggal 12 Agustus, PBoC kembali menurunkan reference ratenya atau CNY rates dari 6.2298 ke 6.3306, yang artinya devaluasi lebih lanjut sebesar 1,6 persen. 

Di hari yang sama pula IHSG melemah 3,1 persen ke level 4,479.49 dan rupiah melemah 1.42 persen ke level Rp13,799 per dolar AS. Mengacu pada kondisi ekonomi negara tirai bambu tersebut saat ini, kemungkinan devaluasi kembali masih terbuka lebar, hal itu menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi pemerintah.


Bisa Tembus Rp14.000

Analis LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo memproyeksikan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar AS masih akan terjadi hingga akhir tahun. Dua bulan ke depan adalah masa kritis di mana risiko rupiah mengalami pelemahan kemungkinan bisa terjadi. 

Sebab menurut Lucky, apapun keputusan The Fed terkait suku bunga, pasti akan membuat dolar semakin perkasa dari mata uang lainnya. Hal itu secara otomatis akan melumpuhkan mata uang Yuan.

"Yuan sudah terdepresiasi selama empat hari. Jika terdepresiasi lagi artinya mewakili kondisi mata uang di negara Asia, dan Indonesia bagian dari keluarga asia," ujarnya kepada VIVA.co.id. Selasa 18 Agustus 2015. 

Sentimen tersebut diperburuk dengan arah kebijakan pemerintah yang tidak pro pada pasar keuangan. Ditambah lagi, dengan reshuffle kabinet yang dilakukan jokowi, menandakan bahwa tim ekonominya tidak kompak, sehingga masyarakat menjadi korban. 

Hal itu tercermin dengan naiknya harga komoditas pangan seperti daging sapi, ayam dan dikhawatirkan akan merambah pada komoditi lainnya pada  kebutuhan utama seperti bawang, gula, beras, dan sebagainya.

"Itu menggambarkan potret saat ini, ekonomi tidak harmonis terhadap tujuan dan aspek yang digagas pemerintah. Itu yang menyebabkan orang menghindari rupiah hingga dua bulan ke depan, itu jadi alasan pelaku pasar melihat saat ini kondisi pasar kurang kondusif," ia menambahkan. 

Berkaca dari beberapa faktor tersebut, dia memprediksikan rupiah akan tembus di level Rp14.100 per dolar AS pada tahun ini. Sebab, dalam perdagangan rupiah di pasar keuangan ada faktor psikologi masyarakat yang berperan. 

Dia mencontohkan, meskipun berdasarkan kurs tengah nilai rupiah diperdagangkan di kisaran Rp13.800, saat ini sudah ada tempat penukaran uang yang menjualnya di atas itu. 

"Di money changer sekarang sudah jual di harga Rp13.900. Angka psikologis masyarakat terhadap rupiah Rp14.000 dengan angka terendah Rp14.100,"

Terkendali

Meskipun pelemahan rupiah terus terjadi saat ini, pemerintah dan BI menganggap hal itu masih sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia. Sebab, yang menjadi perhitungan kedua otoritas tersebut adalah rata-rata nilai rupiah selama 2015.  

Pemerintah memprediksikan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pada tahun ini ada di kisaran Rp13.200 per dolar AS. Hingga awal Agustus, rata-rata rupiah masih ada di level Rp 13.100 per dolar AS.

"Mungkin rata-rata ada di Rp13.200 pada akhir tahun, karena di awal tahun kan masih Rp12.900 per dolar. Kemudian, naik dikit-dikit, sehingga sekarang sudah Rp13.100 per dolar AS," ujarnya Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara.

Pemerintah, menurutnya, akan terus berkoordinasi dengan otoritas moneter untuk meredam pelemahan yang terjadi saat ini. "Nilai tukar ini kan pergerakannya melemah baru 3-4 hari terakhir. Tapi ada ruang penguatan, kalau bisa kami bekerja bersama-sama," tambahnya. 

Di sisi lain BI berkomitmen  menjaga stabilitas rupiah dengan intervensi di pasar valuta asing (valas), sesuai kondisi fundamental maupun teknikal yang berkembang dari waktu ke waktu. 

"Kami terus lakukan stabilisasi. Kami melihat cadangan devisa kita menurun di pasar valas, karena ketidakpastian global ini akan terus berlanjut," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, di kompleks BI, Jakarta.

Menurut dia, selama ini investasi asing yang masuk ke surat berharga negara (SBN) masih cukup besar.  “Itu yang menjadi bagian untuk melihat bagaimana keyakinan dari investor asing terhadap Indonesia," ujar Perry.

Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara terus mengatakan, pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini lebih karena fenomena dolar AS yang semakin menguat.

"Kalau melihat rupiah, fenomena ini bukan rupiah yang melemah, tapi adalah fenomena dolar. Kita lihat euro melemah terhadap dolar tahun ini sampai 10 persen, lalu dolar New Zealand melemah terhadap dolar 15 persen pada tahun ini. Kalau rupiah hanya melemah delapan persen," ujar Mirza.

Meskipun demikian menurutnya, untuk meredam dampak dari penguatan dolar tersebut, penggunaan rupiah di dalam negeri harus terus didorong. Penggunaan dolar AS pada transaksi keuangan di dalam negeri juga memberi kontribusi tersendiri bagi pelemahan rupiah. 

"Kalau kita di dalam negeri masih ada praktik yang menggunakan dolar maka itu akan menambah tekanan. Padahal itu tidak wajar kalau di negara lain," tegasnya. 


Pengusaha Kalang Kabut

Pelemahan rupiah ini seharusnya berdampak positif terhadap kinerja ekspor, sehingga mmampu endorong perekonomian Indonesia. Tapi sangat disayangkan, hal tersebut sulit terwujud karena penguatan dolar yang terlalu besar  juga berdampak pada pelemahnya kinerja impor khususnya bahan baku industri yang berorientasi ekspor.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Karyanto Suprih mengakui hal tersebut, terus melemahnya rupiah turut menggerus dunia usaha yang masih mengandalkan impor untuk memenuhi bahan baku produknya. 

Hal ini sebenarnya bisa diantisipasi. Namun, saat ini industri lokal belum siap  melakukan subsitusi bahan baku impor. Itu menjadi tantangan tersendiri, 

"Misalnya, mesin buat industri. Ya untuk kebutuhan dalam negeri. Andai bisa dibuat dalam negeri kita bisa kurangi impor, tapi tidak bisa melarang," tegasnya kepada VIVA.co.id.

Senada dengan karyanto, Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Rofiek Natahadibrata mengakui hal tersebut. Daya beli impor dunia usaha terus tergerus karena pelemahan rupiah jauh di atas asumsi pemerintah tahun ini yaitu Rp12.500 per dolar AS. 

Sebab menurutnya, nilai impor yang dilakukan saat ini tidak sebanding degan produk jadi yang dijual di dalam negeri. Daya beli masyarakat masyarakat semakin menurun karena perumbuhan ekonomi yang semakin melambat saat ini. 

"Kami perhitungannya pakai asumsi pemerintah tapi Kami harus bayar Rp13.800 per dolar untuk impor, persentase hampir berapa persen tuh pelemahannya. Akibatnya yang terjadi, harga jual dalam bentuk rupiah dalam negeri itu kan naik," tegasnya kepada VIVA.co.id.

Dunia usaha saat ini menurutnya menghadapi ketidakpastian tingkat tinggi. Karena di satu sisi bahan baku produk ekspor yang berasal dari impor semakin mahal, tapi jika produksi dikurangi, pendapatan akan berkurang. Dan apabila dijual di dalam negeri berisiko merugi karena kenaikan harga dapat menggerus daya beli masyarakat. 

"Laba kami terus tergerus 10-15 persen, tergantung industrinya. Tapi, rata-rata segitu sudah dari awal tahun," katanya.

Tidak hanya industri di sektor riil, kinerja sektor properti pun terus terpuruk. Rupiah yang terlalu bergejolak membuat pembangunan mandek karena para pengembang cenderung wait and see

Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI), Eddy Hussy, mengungkapkan, pengembang bingung menjual produknya karena fluktuasi nilai rupiah terlalu tinggi saat ini. Ditambah lagi biaya produksi yang dikeluarkan terlalu tinggi. 

Di tengah pelemahan ekonomi saat ini, kata dia, konsumen lebih selektif dalam membelanjakan uangnya untuk kebutuhan yang belum prioritas. 

"Yang pertama tidak hanya karena harga barang menjadi lebih mahal, tapi karena kontraktor semuanya juga menyesuaikan harga karena nilai tukar/kurs, tetapi juga masalahnya dengan dolar yang terus bergejolak, itu membuat orang-orang (konsumen) itu menahan diri," ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa 18 Agustus 2015. 

Dia berharap, program satu juta rumah yang dicanangkan pemerintah bisa berjalan sesuai dengan targetnya tahun ini sehingga ada jaminan bagi dunia usaha dan sektor properti khususnya untuk lebih bergairah kembali di akhir tahun ini. 

"Jadi itu yang kami tunggu, mungkin itu bisa membantu sedikit bisnis properti," harapnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya