Mungkinkah Membangkitkan GBHN Lagi

MPR Isyaratkan Merevitalisasi GBHN seperti Era Orde Baru
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhammad Iqbal

VIVA.co.id - Setelah lebih satu dasawarsa dikubur, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) akan dibangkitkan. Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah gencar menyosialisasikan. Berkolaborasi dengan sejumlah lembaga seperti Dewan Perwakilan Daerah, wacana amandemen kembali konstitusi, Undang Undang Dasar 1945, ikut bergulir.

GBHN pada era Orde Baru menjadi “kitab suci” bagaimana pembangunan dijalankan. Kala itu, MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang memilih dan memberhentikan presiden serta membuat GBHN. Presiden sebagai mandataris MPR berkewajiban menjalankannya.

Situasi berubah. MPR periode 1999-2004 membuat perubahan yang cukup drastis terhadap sistem tata negara kita. Misalnya saja, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, sehingga tidak lagi memilih dan memberhentikan presiden. Adapun presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

Karena bukan lagi lembaga tertinggi, kewenangan MPR menyusun GBHN sebagai arah pembangunan nasional hilang. Arah pembangunan nasional cenderung berubah setiap ganti pejabat karena perencanaan pembangunan kemudian lebih mengacu pada visi, misi, dan program pejabat terpilih saat kampanye.

Itulah antara lain yang disampaikan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri saat memeringati Hari Konstitusi pada 18 Agustus 2015, lalu. Mega berpandangan, seharusnya GBHN tetap ada karena bisa menjaga arah pembangunan bangsa hingga 100 tahun ke depan.

"Sekarang cuma ada visi misi (calon presiden). Kalau presiden berganti ya sudah selesai," kata Mega.

Pidato Megawati disambut meriah MPR. Mereka ingin segera mengeksekusi gagasan itu menjadi langkah-langkah yang lebih konkret.  Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR, Martin Hutabarat, mengungkapkan bahwa sebelum pidato Megawati itu, sudah ada usulan atau gagasan agar GBHN kembali dihidupkan.

"Banyak Perguruan Tinggi menginginkan GBHN digulirkan kembali, gagasan itu sudah banyak diperbincangkan," kata Martin saat sosialisasi MPR di Simalungun, Sumatera Utara, Kamis, 20 Agustus 2015.

Alasan Ahok Dukung Hidupkan Kembali GBHN

Urgensi GBHN

Apa alasan dibangkitkannya GBHN? Martin menjawab pertanyaan itu dengan sebuah ilustrasi. Presiden saat ini, Joko Widodo, mencanangkan program tol laut. Selama dia berkuasa, tentu saja, birokrasi bekerja untuk merealisasikan gagasan itu. Namun, situasi bisa saja berubah bila Jokowi tidak lagi menjabat.

"Seperti ini, Presiden Jokowi sudah ngotot soal Tol Laut, lalu dilakukan pembangunan tol laut, nanti 5 tahun lagi kalau Presidennya lain lagi, enggak mau tol laut, maunya pembangunan darat, nanti beda Presiden lain lagi maunya, maunya pembangunan industri saja, akhirnya kan jadi sia-sia, itu jadi enggak baik," katanya.

Menurut Martin, akan berbeda bila arah pembangunan dicantumkan dalam sebuah GBHN yang disepakati seluruh komponen bangsa tidak berubah meskipun presidennya ganti. Atas landasan itu, menurutnya memang perlu dibahas apakah GBHN diperlukan lagi.

"Kita mau jadi negara apa, negara maritim, negara industri, atau negara apa, maka perlu GBHN," katanya.

Namun demikian, bila pembuatan GBHN disepakati muncul masalah baru: siapa yang membuatnya? Jika GBHN kembali digulirkan, siapa yang memiliki wewenang menyusun GBHN?

"Kalau MPR yang bikin GBHN, apa presiden mau menjalankan, sedangkan posisinya sejajar, makanya ide bu Mega itu, MPR harus ditinggikan kembali," kata Martin.

Martin menjelaskan, pada masa sebelum reformasi bergulir, MPR memiliki posisi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, di atas DPR dan Presiden, dan saat itu Presiden bertanggung jawab langsung terhadap MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, maka Presiden akan kembali di bawah wewenang MPR walaupun dipilih langsung oleh rakyat.

"Sebenarnya sekarang juga begitu, yang bisa meng-impeach Presiden ya MPR, setelah diusulkan DPR, dibawa ke Mahkamah Konstitusi, jika Mahkamah Konstitusi menyetujui, dibawa lagi ke DPR untuk dibahas dalam sidang paripurna MPR, jadi sebenarnya tidak perlu khawatir jika MPR kembali ditinggikan maka Presiden akan mudah goyang, kan ada prosesnya, tidak semudah itu," ucap Martin.

Megawati: GBHN Perkuat Pengusaha Nasional

Lembaga tertinggi

Menurut Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono, gagasan Megawati bahwa MPR harusnya dikembalikan ke posisi semula sebagai lembaga tertinggi perlu direspons dengan tindakan yang lebih nyata. Menurut dia, posisi MPR yang paling tinggi dibanding lembaga lain memungkinkan untuk menetapkan GBHN yang dapat dipatuhi semua rezim yang berkuasa.

"Idenya, karena pembangunan tidak bisa hanya dilakukan dalam lima tahun. Nanti ganti presiden, ganti gubernur, pembangunannya tidak sama dengan yang sebelumnya. Kalau ada GBHN, alur pembangunan bisa stabil,"  kata Bambang.

MPR sedang menyerap semua ide tentang ketatanegaraan Indonesia, menampung rekomendasi-rekomendasi mengenai sistem ketatanegaraan yang berlandaskan falsafah Pancasila. Upaya itu penting agar niatan MPR tak bertentangan dengan semangat demokrasi atau malah kembali ke masa sistem pemerintahan otoriter di masa lalu.

"Kita harus hati-hati, kita perlu mengkaji agar tujuan demokrasinya tetap tercapai," ujar Bambang, yang juga Senator Dewan Perwakilan Daera dari Jawa Tengah itu.

MPR adalah lembaga negara yang di zaman Orde Baru menjadi lembaga tertinggi negara, memiliki wewenang mengeluarkan Ketetapan MPR yang bisa mengubah undang-undang atau konstitusi. Namun sekarang MPR adalah lembaga yang sejajar dengan lembaga tinggi negara lain: DPR dan Presiden.

MPR juga tak lagi memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden karena pemilihan kepala negara dan wakil kepala negara itu kini dilakukan melalui pemilihan umum.

Amandemen UUD 1945

MPR ingin gagasan itu terwujud. Mereka memiliki Badan Pengkajian yang terus melakukan kajian terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang sedang bergulir. Kajian ini dalam bentuk studi-studi dan dialog dengan intelektual serta tokoh masyarakat di daerah. Hasil dari kajian ini kemudian akan disampaikan oleh MPR ke lembaga tinggi negara seperti Presiden, DPR, Mahkamah Agung, dan lembaga tinggi negara lainnya.

"Hasil dari Tim Pengkajian yang mengkaji tentang sistem ketatanegaraan akan disampaikan oleh MPR kepada lembaga negara lain, untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan kita," ujar Martin Hutabarat, Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR.

Menurut Politisi Partai Gerindra ini, kajian-kajian ketatanegaraan itu adalah terkait dengan sistem, seperti tentang pemilu serentak, penyederhanaan partai, hingga sistem persidangan MPR. Martin mencontohkan, pada saat sidang tanggal 14 Agustus, Presiden sampai tiga kali berpidato, masing-masing di depan MPR, DPR dan DPD.

"Padahal anggotanya sama, hanya pimpinan sidang yang berbeda, Presiden harus pidato 3 kali dalam sehari, ke depan akan diatur lagi supaya berubah," ujarnya.

Hasil dari pengkajian nantinya akan disampaikan ke lembaga tinggi negara, dan menjadi bahan legislasi di DPR. Tim Pengkajian juga dibentuk untuk mempersiapkan Amandemen Undang-Undang Dasar pada sidang MPR tahun 2017 mendatang.

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan

Bom Sarinah, Ketua MPR Nilai Aparat Tak Kecolongan

Dia membandingan dengan Prancis yang dinilai lebih kuat

img_title
VIVA.co.id
18 Januari 2016