Sampai Kapan Kita Mau 'Produksi' Kabut Asap?

Ilustrasi/Bencana kabut asap di Indonesia 2015
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA.co.id - Bencana kabut asap berulang lagi terjadi. Sumbernya pun ditengarai di titik yang sama, yakni dari Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Dari citra satelit hingga 31 Agustus 2015, tergambar ancaman kabut asap akan semakin meluas. Setidaknya, ada di dua pulau tersebut.

Diperkirakan, besaran titik sumber api tersebut akan terus bertambah. Apalagi, tahun ini kemarau sudah diprediksi akan berlangsung hingga akhir tahun.

Sejatinya, setiap tahun pemerintah telah menganggarkan dana miliaran rupiah untuk penanggulangan dan penyebabnya. Namun, sayang tetap tak menunjukkan hasil.

Produksi kabut asap Indonesia pun menjadi-jadi. Alhasil, tahun ini akhirnya genap 18 tahun Indonesia memproduksi kabut asap, sejak pertama kali muncul fenomena massalnya pada tahun 1997.

Perjanjian asap

Kebakaran di Portugal, Nasib WNI Terus Dipantau

Penghujung September 2014, dua negara tetangga Indonesia, Singapura dan Malaysia, bereaksi keras atas hasil 'produksi' asap Indonesia tersebut.

Derajat kesehatan warga mereka disebut terganggu. Setidaknya, sudah 16 juta masker dibagi untuk mengurangi dampak buruk .

Reaksi dua negara yang juga sekaligus mewakili Asia Tenggara ini, akhirnya berujung pada desakan sebuah kesepakatan yang wajib dipatuhi oleh Indonesia. (Baca: )

Singapura yang lebih dahulu memiliki Rancangan Undang Undang Kabut Asap Lintas Batas (Transboundary Haze Pollution Bill) yang memiliki kewenangan menjerat penebar asap di langit mereka, akhirnya meminta Indonesia untuk memperketat kebijakan penanganan kebakaran hutan dan lahannya.

Sampel DNA Ikan Aneh di Minahasa Dikirim ke Eropa

Dampak kabut asap di Provinsi Riau

Ketegangan diplomatik pun akhirnya sempat menguat. Maklum, Singapura berani mendenda pelaku penebar asap di negara mereka hingga S$2 juta, atau lebih dari Rp18 miliar. (Baca: )

Sementara itu, Indonesia bersikukuh bahwa penyebab kebakaran juga tak lepas dari keterlibatan orang Singapura, yang bekerja dan membuat perusahaan di Indonesia.

Meski begitu, ketegangan diplomatik ini pun akhirnya mereda. Secara resmi pada Januari 2015, Indonesia akhirnya bersedia meratifikasi dokumen tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, atau ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang sudah sejak 2002 dimiliki negara-negara di ASEAN. (Baca: )

"Ini bentuk tanggung jawab Indonesia, sebagai pemilik hutan yang paling luas di ASEAN," kata Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri I Gusti Agung Wesaka Puja, kala itu.

Komitmen politik yang kini diemban Indonesia tersebut, harus diakui merupakan sebuah kemajuan besar. Sebab, dengan ini setidaknya Indonesia dapat lebih berhati-hati dan mengawasi ketat kemungkinan munculnya bencana kabut asap berulang.

Kebakaran Besar Melanda Portugal

Apa kabar blusukan asap?

Sebulan usai dilantik pada November 2014, Presiden Joko Widodo menggelar kunjungan 'blusukannya' ke Riau. Kehadiran Jokowi di Desa Sungai Tohor Pulau Meranti Kabupaten Siak pada 27 November 2014 itu, bak memberi angin segar penanganan .

"Indonesia harus bebas dari kabut asap tahun depan (2015)," kata Jokowi dalam kunjungannya, saat itu. (Baca: )

Komitmen Jokowi tersebut mendapat respons positif berebagai kalangan. Ada harapan baru terbersit untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.


Kabut asap menyelimuti kota Singapura

Namun, apakah kemudian 'blusukan asap' ini berdampak? Rasanya sulit menjawabnya di tahun ini. mulai 'meneror' nyaris di setiap aktivitas masyarakat di Sumatera dan Kalimantan. Termasuk, terjadi juga di dua negara tetangga terdekat, Singapura dan Malaysia. (Baca: )

Sampai kapan menahan rugi

Badan Penanggulangan Nasional dan Bencana (BNPB) merilis angka kerugian negara pada 2014, akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan, mencapai Rp50 triliun.

Jumlah itu belum diakumulatif pada anggaran terpakai untuk penanganannya sebesar Rp393,18 juta. Di tahun itu juga, sebanyak 32.140 hektare hutan dan 49.808,45 hektare lahan perkebunan pun habis dilalap api. (Baca: )

Tak dirinci jelas, dari mana total kerugian Rp50 triliun itu didapat. Namun, bisa jadi angka itu muncul dari beragam sektor yang terkena dampak. Untuk perbandingan saja, data dari ini. Namun, dari sejumlah sektor mulai bermunculan bayangan kerugiannya.

Di sektor transportasi udara, sejumlah penerbangan di berbagai bandara mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Padang hingga Lampung pun mulai terganggu.

Kemudian, di sektor kesehatan. Puluhan ribu warga mulai mengeluhkan dampak dari kabut asap. Beberapa di antaranya sudah diperiksa di sejumlah layanan medis, meski belum ada yang dilaporkan meninggal, atau pun dirawat serius.

Lihat saja di Palembang, penderita Infeksi Saluran pernapasan Atas (ISPA) dilaporkan sudah meningkat hingga 100 persen. Dalam seharinya, 15 orang hingga 30 orang pasti berobat ke puskesmas setempat.

Selanjutnya, di sektor pendidikan, puluhan sekolah di Provinsi Jambi sudah merasakan bencana kabut asap. Akibatnya, demi menghindari dampak buruk lanjutan, para pelajar di sekolah-sekolah ini harus merugi karena diliburkan.

"Kabut asap terus memburuk. Jadi, kami diinstruksikan untuk menghentikan aktivitas belajar mengajar," ujar Firdayanti, salah seorang kepala sekolah dasar di Jambi, Jumat lalu, 28 Agustus 2015.

Kerugian-kerugian ini sesungguhnya belum tercermin semua. Sebab, belum menyentuh banyak sektor lainnya seperti angka inflasi, ancaman kematian satwa, tanaman langka, dan lain sebagainya.

Sehingga, kalau ini dikalkulasikan menyeluruh, bisa dipastikan kerugian ini bukan harga yang kecil bila dirupiahkan.

Lantas, sampai kapan kita ingin didaulat menjadi negara penghasil asap? (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya