Waspada, Efek Buruk Asap Kebakaran Hutan

Kabut asap, Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru lumpuh
Sumber :
  • ANTARA FOTO/FB Anggoro

VIVA.co.id - Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera serta kini di Kalimantan, membawa efek buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar. Di awal September, tercatat kepekatan kabut asap di kota-kota yang terpapar asap, melebihi 150 mikrogram per meter kubik, atau dengan kata lain, melebihi ambang batas aman.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kenten, Palembang, menyatakan udara di wilayah Sumatera itu sudah tidak lagi sehat. Dinas terkait bahkan sampai mengeluarkan instruksi masalah kesehatan udara, termasuk bagi anak sekolah. Buruknya kualitas udara, tak hanya terjadi pada pagi hari, namun hampir sepanjang hari.

Di sisi transportasi darat, nyawa pengendara di kota Palembang dan sekitarnya mulai terancam, karena terbatasnya jarak pandang. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya kabut asap.

Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?

Data BMKG menyebut, jarak pandang di Palembang di bawah satu kilometer. Saat siang hari, jarak pandang agak normal, meski tetap diselimuti asap putih.

Minggu, 13 September 2015, kondisi kabut asap belum menandakan tanda-tanda menipis. Efek kebakaran hutan yang belum juga teratasi, dirasa berbahaya dan efek jangka panjangnya membahayakan kesehatan, bahkan bisa menyebabkan kematian.

"Angka kematian akibat dampak asap, kebakaran hutan biasanya kecil dan relatif, namun bukan berarti bisa diabaikan apalagi disepelekan," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Prof dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K).

Walau kecil, ada tiga kemungkinan yang bisa berakibat fatal. Kemungkinan pertama, infeksi pernapasan yang memburuk, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) misalnya. Jika tak segara ditangani, bisa menjadi pneumonia. Ia akan makin parah, apabila sistem imunitas tubuh orang itu tidak kokoh.

Kemungkinan kedua adalah memburuknya penyakit paru dan jantung kronik, apalagi pada lansia.‎ Contohnya, mereka bisa terserang PPOK eksaserbasi akut, cor pulmonale, gagal jantung, dan penyakit berbahaya lainnya.

Kemungkinan yang juga bisa merenggut nyawa, adalah kematian yang timbul bukan karena penyakit. Tapi, karena kecelakaan akibat kebakaran yang kian meluas, baik secara langsung karena api, atau lainnya.

Ketebalan kabut asap memburuk

Ancaman kabut asap bagi kesehatan, tak hanya terjadi di beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan, namun juga di Riau. Bahkan, saat ini kondisi udara di Pekanbaru, dinyatakan pada level berbahaya.

Dokter spesialis paru-paru, Azisman Daad menyebutkan, idealnya dengan kondisi kabut asap yang bertambah parah, masyarakat Riau sudah diungsikan. "Namun, hal itu susah dilakukan karena banyak kendala. Di antaranya, jumlah masyarakat yang banyak," ujar Azisman.

Sementara itu, Kepala BMKG Pekanbaru, Sugarin, menjelaskan, ketebalan kabut asap di Riau memburuk. Minggu pagi, 13 September 2015, jarak pandang warga Riau menurun. "Jarak pandang hanya 300 meter. Di Rengat, jarak pandang 100 meter. Kondisi sama juga terjadi di Dumai dan Pelalawan, batas jarak pandang tak lebih dari 100 meter," kata Sugarin.

Soal kebakaran hutan dan lahan di Riau, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Willem Rampangilei, sampai merasa heran, mengapa daerah itu terus mengalami kebakaran selama 18 tahun belakangan.

DPR Pertanyakan SP3 atas Perusahaan Tersangka Pembakar Hutan

"Lokasi kejadiannya juga di sekitar itu. Kalau kami tanya kapan terjadi, jawabannya selalu saat musim kering. Pelaku dan pemilik lahannya kami tahu, tetapi kenapa ini bisa tetap terjadi?" kata Willem.



Dampak kesehatan langsung dan tidak langsung

Menurut Tjandra Yoga, banyak orang takut terkena kanker akibat terus-menerus terpapar asap. Ia menjelaskan, kanker akan terjadi bila terkena paparan bertahun-tahun dan itu nonstop. Nah, kebakaran hutan biasanya hanya terjadi selama beberapa bulan, dan berhenti saat musim berganti.

Dia menjelaskan, sampai sekarang belum ada bukti ilmiah yang menghubungkan ‎kanker dengan asap kebakaran hutan‎. Paparan asap kebakaran yang tidak terjadi terus-menerus, berbeda dengan paparan asap rokok, yang dihisap setiap hari, selama 10-20 tahun misalnya, itu jelas bisa menyebabkan kanker.

Asap kebakaran hutan, mempunyai komposisi berbeda dengan asap lain, misalnya gunung berapi, polusi pabrik, atau kendaraan bermotor. Asap kebakaran hutan, lebih bersifat biomass, karena yang terbakar pohon hidup.

Secara umum, kabut asap dapat mengganggu kesehatan semua orang, baik yang sehat atau sakit. Pada kondisi tertentu, orang sehat tetap akan menjadi mudah mengalami gangguan kesehatan akibat kabut asap, khususnya bagi yang punya gangguan paru dan jantung, lansia, serta anak-anak.‎

“Dampak asap kebakaran hutan pada kesehatan, dapat langsung atau tidak langsung. ‎Yang termasuk dampak langsung, adalah infeksi paru dan saluran napas.‎ Kabut asap dapat sebabkan iritasi lokal pada selaput lendir di hidung, mulut, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungkin juga infeksi,” kata Tjandra.

ISPA jadi lebih mudah terjadi, karena tidak seimbangnya daya tahan tubuh, pola bakteri penyebab penyakit, dan buruknya lingkungan. Jadi, ISPA akibat kebakaran hutan, bisa terjadi melalui tiga mekanisme, yakni iritasi, infeksi, serta penurunan daya tahan ‎‎‎ melawan kuman.

Zumi Zola Berikan Eskavator Tiap Kecamatan di Jambi

Dampak langsung lainnya, adalah ‎gangguan pada mata dan kulit. Efeknya menimbulkan keluhan gatal, mata berair, peradangan, dan infeksi yang kian berat.

Waspada pula pada asma dan penyakit kronis lain, seperti bronkitis kronik, dan PPOK. Karena, asap kebakaran hutan terhirup ke paru-paru‎. Akibatnya, kemampuan kerja paru berkurang dan menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami sulit bernapas.

Sementara itu, dampak tidak langsungnya, adalah polutan asap kebakaran hutan bisa menjadi sumber penyakit di sarana air bersih dan makanan yang tidak terlindung. Kalau air dan makan‎an itu dikonsumsi, bukan tidak mungkin, terjadi gangguan saluran cerna dan penyakit lain bagi manusia yang mempergunakannya.

Lalu, secara umum, bisa terjadi pula berbagai penyakit kronik di organ tubuh. Hal ini karena dampak tidak langsung, di mana kabut asap menurunkan daya tahan tubuh dan menimbulkan stres pada masyarakat.

Solusi pencegahan dan penanganan

Tjandra ‎‎menjelaskan, untuk perlindungan kesehatan masyarakat, ada lima hal yang dapat dilakukan. Pertama, hindari atau kurangi aktivitas di luar rumah, terutama bagi mereka yang menderita penyakit jantung dan gangguan pernapasan. Hal ini memang tidak mudah, tapi perlu diupayakan. Jika terpaksa harus pergi keluar pakailah masker.

Kedua, terapkan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti makan menu bergizi, tidak merokok, dan istirahat cukup. Ketiga, segera berobat ke dokter, bila mulai mengalami kesulitan bernapas, batuk berkepanjangan, nyeri dada, atau gangguan kesehatan lain.

Keempat
, ‎bagi yang mempunyai gangguan paru dan jantung, minta nasihat dokter untuk perlindungan tambahan. ‎Kelima, untuk mencegah kontaminasi asap dan debu pada bahan pangan, penampungan air minum serta makanan harus terlindung baik.

Buah dan sayur harus dicuci bersih sebelum dikonsumsi. Bahan makanan dan minuman juga harus dimasak secara benar.

Willem Rampangilei menjelaskan, selain membahayakan secara fisik dari sisi kesehatan, kabut asap yang tak kunjung padam juga mengganggu perekonomian warga, yang wilayahnya terpapar kabut. Ia menerangkan, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tidak sedikit.

Riset menyebutkan, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2014 mencapai Rp20 triliun.

Kini, pada 2015, warga juga mulai mengalami kerugian dari sisi ekonomi akibat kabut asap. Contohnya, asap yang menyelimuti Kota Dumai, Riau, membuat nelayan tradisional memilih tidak melaut.

Upaya itu dilakukan, karena jarak pandang di tengah laut sangat terbatas, hanya 500 meter. Sementara itu, nelayan masih menggunakan alat navigasi sederhana, kompas sebagai penunjuk arah.

Untuk memastikan jarak pandang, mereka mengandalkan mata guna mengetahui keberadaan kapal lain dan garis pantai. Keadaan ini jelas merugikan dan membuat penghasilan mereka berkurang.

Rahman, salah satu nelayan bahkan menyebut, akibat asap yang makin tebal, kini matanya perih, dan itu berbahaya jika dipaksakan melaut.

Tak hanya itu, para pilot juga tak berani ambil risiko mendaratkan burung besi mereka di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau. Hal itu karena kabut asap kian memburuk beberapa hari belakangan.

Hingga Jumat siang, 11 September 2015, belum ada satu pun pesawat yang berani mendarat di Pekanbaru. Jarak pandang di landasan pacu hanya 500 meter.

Sementara itu, untuk keberangkatan, sejumlah pesawat yang sebelumnya harus menginap di bandara, Jumat pagi akhirnya terbang. Saat ini, jumlah titik api di Sumatera telah meningkat menjadi 575 titik.

Harus disadari, perubahan iklim tidak sepenuhnya terjadi secara alamiah, tetapi juga karena ulah manusia. Salah satu kunci mengatasinya, mari bersahabat dengan alam, menjaga kelestarian lingkungan, demi kelangsungan hidup manusia di masa depan. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya