Tiga Bank BUMN Berutang ke China, untuk Apa?

dana asing
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Pekan lalu, tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank Mandiri Tbk menandatangani kesepakatan pinjaman uang dengan Bank Pembangunan Tiongkok (CBD) senilai total US$3 miliar atau sekitar Rp42 triliun.

Tiga BUMN Sediakan Layanan Transaksi Nilai Tukar untuk Migas

Masing-masing bank BUMN diberi suntikan dana sebesar US$1 miliar atau setara Rp14 triliun. Komposisi utang tersebut terdiri atas 70 persen pinjaman berupa dolar Amerika Serikat (AS) dan 30 persen dalam bentuk renminbi (RMB).

Penandatanganan kesepakatan pinjaman dilakukan Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama BRI, Asmawi Syam, dan Direktur Utama BNI, Achmad Baiquni dengan Presiden Eksekutif CDB Zeng Zhijie, disaksikan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Kepala Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi (National Development and Reform Committee/NDRC) Xu Shaoshi di Beijing, China, pada Rabu 16 September 2015.

e-Money Empat Bank BUMN Ini Sudah Bisa Buat Bayar Tol

Pinjaman sebesar US$3 miliar tersebut, merupakan tahap pertama dari keseluruhan komitmen pinjaman yang akan diberikan CDB sebesar US$20 miliar, yang sudah disepakati antara Kementerian BUMN dan CDB dan NDRC.

"Ada pula pinjaman sebesar US$10 miliar untuk PLN," ungkap Menteri BUMN, Rini Soemarno.

Tiga Bank BUMN Berniat Utang Lagi ke China

Berita Rini dan tiga bank BUMN pulang dari China membawa utang puluhan triliun rupiah menjadi berita hangat di dalam negeri. Pertanyaannya adalah, untuk apa dana sebesar itu?

Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan bahwa pinjaman tersebut selaras dengan program pemerintah. "Pemerintah akan menggenjot pembangunan infrastruktur," kata Budi saat penandatanganan pinjaman di Beijing, Tiongkok.

Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Rohan Hafas, menambahkan, demi mendukung program pembangunan infrastruktur, pemerintah membutuhkan dana besar sebagai investasi jangka panjang. Sementara itu, aset kredit yang diberikan oleh perbankan di Indonesia tidak akan cukup membiayai proyek tersebut jika tidak melalui pinjaman.

Rohan menjelaskan, aset Mandiri saat ini hampir Rp1.000 triliun, sedangkan kredit yang bisa diberikan hanya Rp700 triliun. Bila untuk membiayai proyek infrastruktur listrik sebesar 35 ribu megawatt sebesar Rp1.200 triliun selama lima tahun saja tidak mencukupi.

Oleh karena itu, perbankan nasional membutuhkan tambahan pinjaman dari luar negeri untuk membiayai pembangunan.

"Satu tahun berarti Rp240 triliun. Itu baru PLN. Mandiri bisa kasih berapa? 20 persen dari modalnya, ajak deh BNI dan BRI. Belum cukup, sisanya bank-bank swasta, cukup enggak?," tuturnya.

Rohan menegaskan, utang Bank Mandiri ke CBD adalah pinjaman dengan skema antarbisnis (business to business/b to b) dan bukan antarpemerintah (government to government/g to g).

Direktur Utama BNI, Ahmad Baiquni, pun membenarkan bahwa BNI mendapat kucuran pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai US$1 miliar dengan tenor 10 tahun. Dia mengatakan bahwa kucuran dana tersebut dipergunakan untuk pembiayaan infrastruktur dan mendukung proyek hilirisasi berorientasi ekspor.

"Iya, betul, bukan hanya BNI, termasuk BRI dan Mandiri. Karena komitmen tinggi terhadap pembiayaan infrastruktur. Bisa langsung, bisa melalui kami," ujar Baiquni saat dihubungi VIVA.co.id, Senin, 21 September 2015.



Risiko keuangan

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengomentari langkah tiga BUMN tersebut meminjam dana dari China. Dia mengatakan, pada setiap aksi korporasi terdapat risiko dan keuntungan tersendiri. Jika laporan keuangan dari tiga bank tersebut buruk, dapat terjadi pengambilalihan aset oleh China.

Namun, dia meyakinkan bahwa banyak pihak menyatakan perbankan nasional masih aman. Sangat kecil kemungkinan bank BUMN gagal bayar, yang dapat menyebabkan asetnya beralih ke China.

"Sekarang kita ambil dari positifnya. Nanti ada tambahan likuiditas kredit. Untuk pembiayaan infrastruktur dengan dana besar belum ada. Ini bisa berikan tambahan penyaluran kredit di Indonesia," ujar Josua saat dihubungi VIVA.co.id, Senin, 21 September 2015.

Selain itu, Josua melihat bahwa langkah China, melalui CBD, memberikan pinjaman ke bank Indonesia adalah untuk membawa yuan ke berbagai negara.

"Saya enggak tahu tipe kreditnya seperti apa. Ini juga sebagai upaya China yang cukup gencar menginternasionalkan yuannya. Saya enggak tahu ada pesan apa. Tapi, di perbankan negara lain juga ada sasaran pinjaman CBD ini," ujarnya.

Namun, Josua mengingatkan, ketiga bank tersebut perlu berhati-hari dalam mengelola utang dolar AS, yang saat ini tengah berfluktuasi.

"Untuk para debitor tiga bank yang punya kebutuhan dalam dolar, oke. Tapi, punya portofolio dolar pasti ada risikonya di tengah fluktuasi nilai tukar mata uang yang kurang stabil. Kondisi itu dikhawatirkan bisa berdampak pada laporan keuangan tiga bank tersebut," katanya.

Josua berharap, melalui suntikan dana ini dapat membantu perbankan nasional dalam memberikan kredit pada perusahaan yang diamanatkan untuk membangun proyek infrastruktur. Upaya itu juga diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang kini melambat.

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR, Juliari P. Batubara, mengatakan, Komisi VI DPR RI akan memanggil menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk meminta penjelasan terkait pinjaman tiga bank BUMN. DPR menginginkan agar menteri BUMN menjabarkan detail pinjaman tersebut.

"Komisi VI berharap Menteri BUMN, Rini Soemarno, menjelaskan kondisi apa saja dalam kerja sama pinjaman tersebut. Kabarnya, kan, buat infrastruktur. Harusnya diperjelas, siapa yang mengerjakannya dan hitung-hitungannya seperti apa," kata dia.

Juliari juga meminta agar menteri BUMN menjelaskan syarat-syarat pinjaman US$3 miliar atau sekitar Rp42 triliun itu bisa cair dari bank asal China itu. Apalagi, dia menambahkan, DPR belum menyetujui pinjaman bank BUMN itu.

"Saya belum bisa bilang setuju atau tidak dengan pinjaman itu, sebelum menteri BUMN menjelaskannya," kata dia.

Bahkan, sempat muncul isu, ketiga bank pemerintah itu bakal dijadikan jaminan atas kucuran utang tersebut. Meski, buru-buru, Menteri BUMN, Rini Soemarno, segera mengklarifikasi kabar tersebut.

Dia membantah telah menjadikan tiga bank pelat merah sebagai jaminan pinjaman yang ditarik dari China.

Rini menegaskan, pemerintah tak ikut campur dalam hal ini. Pinjaman tersebut murni ditarik sebagai aksi korporasi ketiga bank tersebut, untuk pembiayaan infrastruktur.

"Ini, kan, business to business (b to b) antarbank," kata Rini di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin 21 September 2015.

Rini pun meminta semua pihak untuk tidak berspekulasi mengenai hal ini. Jika memang ada informasi yang masih simpang siur, dia pun meminta para direksi bank yang bersangkutan ikut melakukan klarifikasi.

"Harap bicara dengan direksi bank BUMN," kata mantan menteri Perindustrian dan Perdagangan itu.

Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Rohan Hafas, pun membantah kabar bahwa Bank Mandiri, BNI, dan BRI dijadikan jaminan pinjaman ke China. Dia menegaskan kabar tersebut adalah berita bohong (hoax) dan tidak berdasarkan data atau fakta.

"Itu hoax, memang kami dijaminkan apanya? Dijaminkan sahamnya? Data enggak ada, ngomong begitu, kan menggoyang pemerintah," ujar Rohan saat ditemui di Plaza Mandiri Jakarta, Senin, 21 September 2015.

Menurut Rohan, jika bank nasional dijaminkan sahamnya harus melalui perizinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu. Perubahan apa pun yang dijaminkan harus melalui DPR, seperti penambahan modal, bahkan dana penyertaan modal negara (PMN) harus meminta persetujuan DPR.

Dorong pembiayaan domestik

Namun, upaya tiga bank pelat merah mencari pinjaman dari luar negeri itu, berbeda dengan "semangat" Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, beberapa waktu lalu. Rizal mengharapkan pemerintah mengubah kebijakan ekonomi neoliberalisme, walau secara perlahan.

Dia ingin pemerintah mengubah pendanaan infrastruktur tak lagi bergantung dari utang luar negeri, melainkan pencarian dana dari masyarakat Indonesia.

"Kita bisa mengubah Indonesia dengan kebijakan dan strategi, tidak hanya dengan utang. Karena, kita selama ini selalu dicekoki dengan utang, proyek-proyek," kata Rizal.

Rizal menambahkan, Jepang hingga 1985 nyaris tidak pernah berutang. Jepang menjadi besar bukan karena pinjaman luar negeri. "China juga sekarang tidak begitu. Mereka biasanya meminjamkan uang ke luar negeri," katanya.

Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, pada Senin 21 September 2015 mengatakan, pemerintah berharap kontribusi masyarakat Indonesia semakin besar untuk ikut membiayai pembangunan infrastruktur.

Diharapkan, Indonesia dapat mengikuti langkah Jepang memiliki basis investor domestik dengan skala besar dalam kepemilikan instrumen surat utang negara, seperti obligasi ritel atau ORI.

Pada Senin 21 September 2015, pemerintah melalui Kementerian Keuangan pun secara resmi meluncurkan obligasi ritel seri 012 dengan kupon sembilan persen, dengan masa tenor selama tiga tahun. Pemerintah menargetkan, dana yang terkumpul mampu menembus puluhan triliun.

"Target indikatifnya sebesar Rp20 triliun," ujar Bambang.

Dia mengatakan, saat ini, porsi investor domestik khususnya ritel, masih minim dalam kontribusi terhadap pembiayaan negara. Artinya, kepemilikan investor asing di surat utang yang diterbitkan pemerintah masih tinggi. Saat ini, kepemilikan asing di Surat Utang Negara (SUN) mencapai 38 persen.

Sangat berbeda dengan Jepang. Kepemilikan surat utang Negeri Sakura mayoritas, yakni 91 persen, dimiliki oleh rakyat Jepang. Sementara itu, kepemilikan asing terhadap surat utang hanya sembilan persen. Kondisi itu membuat perekonomian Jepang tidak mudah digoyang kondisi perekonomian global.

"Jepang lebih punya kesetiaan. Kita, investor asing 38 persen itu dianggap risiko," katanya.

Bambang pun mengharapkan suatu saat model pembiayaan nasional bisa seperti di Jepang, yakni pembiayaan dari masyarakat sendiri.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya