Menjadikan Batik Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Koleksi Retail Eksklusif Balijava Batik Kudus
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Enam tahun lalu, tepatnya pada 2 Oktober 2009, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, UNESCO memberikan pengakuan terhadap batik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Indonesia kala itu, kemudian meresmikan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. 

Batik Generasi Muda Danar Hadi dengan Sentuhan Modern

Pada 2011, dua tahun setelah penetapan Hari Batik Nasional, Indonesia mencanangkan sebuah cita-cita besar, yakni Indonesia Rumah Batik Dunia, yang digulirkan lewat ajang berskala internasional, World Batik Summit (WBS). 

WBS merupakan prakarsa Yayasan Batik Indonesia serta PT Mediatama Binakreasi, bekerja sama dengan kementerian terkait, di antaranya Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Usaha Kecil dan Menengah serta Kebudayaan dan Pariwisata.  

Carita Dasa Windu, Hadiah Eksklusif untuk Habibie

Tujuannya, menjadikan batik sebagai tuan rumah di negeri sendiri melalui pameran, konferensi juga workshop yang bisa memberi edukasi lebih jauh kepada masyarakat mengenai batik. 

Kini, empat tahun berlalu dari event besar tersebut. Sudahkah cita-cita mulia itu tercapai?

Batik Alleira Hadirkan Sisi Feminisme Wanita Urban

Menurut desainer Denny Wirawan, batik kini sudah dianggap sebagai identitas bangsa, terutama oleh kaum muda. 

"Kita bisa lihat sendiri, batik ada di mana-mana. Semua orang bangga pakai batik, dari yang muda sampai tua, ke mana pun pakai batik," kata Denny saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 1 Oktober 2015.

Hal itu, menunjukkan bahwa batik sudah mulai jadi tuan rumah di negeri sendiri. Dalam artian, mendapat pengakuan dari penduduk Indonesia.

"Batik sekarang bisa dibilang mulai jadi tuan rumah di negeri sendiri ya, sudah banyak yang mengolah batik. Tidak sekadar untuk mode, tapi juga dekorasi interior, pernak-pernik, sampai suvenir," ujar desainer yang baru saja menggelar pergelaran busana tunggal tersebut.

Denny memang menekankan pada kata "mulai", karena sekarang ini, kebanyakan batik yang diolah baru sekadar motif. Sementara itu, batik tulis yang luhung dan sarat makna filosofis masih terkendala proses yang panjang dan harga yang mahal. 

"Motif batik sudah banyak yang diolah, sehingga jadi kontemporer, lebih modern, edgy, dan berdaya pakai tinggi. Tapi, kalau mengembangkan batik tulis memang sulit, karena kan prosesnya yang rumit dan butuh waktu lama. Jatuhnya haute couture, jadi adibusana. Susah kalau jadi ready-to-wear," ucapnya.

Industri masih timpang

Enam tahun sudah masyarakat Indonesia menyatakan "kepemilikan" terhadap batik. Padahal, di belakang semua hingar-bingar batik yang namanya harum hingga ke mancanegara, tersimpan banyak kendala terkait batik itu. Masalah utama yang banyak dikeluhkan perajin batik saat ini adalah strategi pemasaran selain kurangnya modal.

Farisi, 56, pengusaha batik asal Pekalongan yang sudah banyak ikut pameran, baik yang berskala nasional maupun internasional, mengatakan, jangkauan pasar masih minim karena kurangnya relasi.  

"Kami akui pemasarannya masih lemah. Pembelinya juga lebih banyak wisatawan yang datang ke Pekalongan," katanya.

Di sisi lain, pameran yang menjadi salah satu ajang promosi batik, dirasa berat bagi perajin, terutama berkenaan dengan dana yang harus dikeluarkan. 

"Dana yang dibutuhkan banyak, untuk akomodasi dan transportasi," ujar dia. 

Pernyataan Farisi senada dengan Eko, 34, asal Yogyakarta, yang menyatakan saat ini kebanyakan perajin cenderung rugi karena pasar sepi. "Kalau untuk stok batik, itu bisa diusahakan, yang jadi masalah adalah pemasarannya, bagaimana agar batik ini laku dijual," katanya.

Padahal, dari segi angka, pasar batik memberikan penawaran menggiurkan. Angka ekspor batik yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan pada 2014 mencapai US$340 juta atau meningkat 17 persen dibanding 2013.

Padahal, pada 2011, ekspor batik hanya di kisaran angka US$69,24 juta. Itu berarti, angka ekspor batik meningkat hampir lima kali lipat hanya dalam kurun waktu empat tahun. Menunjukkan bahwa pasar batik masih tetap seksi.

Adapun yang menjadi pasar utama batik Indonesia adalah Amerika Serikat, sebesar 37 persen. Sisanya Uni Eropa, seperti Jerman, Inggris, Belanda, Belgia, serta Prancis. Sementara itu, di Asia, batik Indonesia banyak dibeli Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan Malaysia. Produk batik yang banyak diekspor berupa kain batik, produk bermotif batik, produk dari batik, dan kain dengan teknik batik. 

Namun, jika melihat langsung ke daerah-daerah penghasil batik, kehidupan para pengrajinnya masih memprihatinkan. Banyak dari mereka yang menggantungkan hidup pada batik, hidup di bawah garis kemiskinan. 

“Mereka (pembatik) itu posisinya buruh, pendapatannya kecil, rata-rata malah terjebak sistem ijon,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jadin C Djamaludin.

Atas dasar itu, Jadin berusaha mendesak pemerintah mengeluarkan regulasi yang memberi perlindungan kepada perajin batik, terutama batik tulis. Regulasi itu harus bisa mengangkat status mereka dari sekadar buruh penggarap menjadi seniman batik. 

“Regulasi itu bisa menjadi solusi masalah kesenjangan pendapatan antara perajin dan pedagang,” ucap dia. 

Menurut Jadin, para perajin batik tulis itu umumnya buta terhadap pasar. "Mereka tidak tahu-menahu mengenai ekspor batik ke luar negeri, jadinya hanya mereka yang memiliki modal besar yang bisa maju. Selebihnya tetap terjebak di sistem lama," katanya. 

Dari lahir sampai mati

Padahal, jika dilihat dari kacamata internasional, batik jauh dari sekadar kain cantik. Banyak konsumen mancanegara yang tertarik membeli bahkan mengoleksi batik, karena mengetahui kandungan filosofis yang tersimpan di balik setiap motif. 

Denny Wirawan mengatakan, kekuatan batik bukan hanya terletak pada motif dan warnanya, tapi juga nilai budaya yang sarat di dalamnya.

"Indonesia punya banyak sekali batik. Setiap daerah punya batik dengan ciri khas masing-masing. Penggunaannya pun luas. Batik bisa dipakai dari lahir sampai kita mati," kata dia. 

Oleh karena itu, wajar bila batik digandrungi, bukan hanya oleh konsumen domestik tapi juga mancanegara. 

Ghea Panggabean, desainer Indonesia yang konsisten menggarap tekstil tradisional mengatakan, batik adalah produk yang sangat populer di pasar asing.

"Di luar negeri, batik dapat banyak perhatian, terutama untuk produk syal dan sarung karena seasonless. Konsumen luar negeri juga suka batik untuk dijadikan busana musim panas atau koleksi resort," katanya.

Dia menambahkan, batik lok can dan mega mendung yang dipertunjukkannya di Korea, baru-baru ini, mendapat sambutan positif.

Desainer Edward Hutabarat malah punya cita-cita yang lebih ambisius berkaitan dengan batik.

“Sudah bukan saatnya lagi batik dikenal sebagai kain atau busana, tapi batik harus bisa mengangkat budaya dan turisme. Jadi, bukan kain batik yang ditonjolkan, melainkan kehidupan di balik batik, termasuk kota batik yang tidak hanya menyajikan batik melainkan juga kuliner, kekayaan seni serta alam,” ujar dia.

Karena bagi Edo, batik tidak hanya wujud fisik busana khas Indonesia, melainkan terdapat proses panjang, cita rasa, dan estetika yang dibalut dengan perasaan dalam pembuatannya. Setiap goresan canting dalam proses pembuatan batik melibatkan segenap emosi dan membawa banyak aspek kehidupan maupun lingkungan sekitarnya. 

“Kita harus ingat, proses pembuatan batik itu merupakan women empowerment, karena 90 persen pekerja batik adalah perempuan, jadi yang menyokong industri batik adalah para perempuan,” kata dia. 

Atas dasar itu, Edo menegaskan bahwa menunjukkan rasa cinta pada batik bukan hanya dengan euforia setiap 2 Oktober atau sekadar mengenakan batik sebagai busana sehari-hari, tapi mengenal batik dengan lebih dekat. 

"Melihat secara langsung kehidupan dan cerita di balik pembuatan batik lalu mempromosikannya," kata Edo yang terus melakukan perjalanan, eksplorasi serta riset ke kota-kota batik. 

Mengangkat dan mempromosikan kota batik lewat batik seperti yang dikatakan Edo bisa menjadi celah industri, pasar untuk meningkatkan kesejahteraan perajin dan juga pemasukan daerah, bukan hanya dari penjualan batik semata. 

“Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kerja sama banyak pihak, seperti halnya pihak tour & travel, pengelola industri batik serta tentu saja pemerintah,” ucap dia. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya