Melindungi Jemaah Haji

Sumber :
  • ANTARA/M Risyal Hidayat

VIVA.co.id - Dua tragedi terjadi di Arab Saudi saat jutaan jemaah haji di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menjalankan Rukun Islam kelima itu.

Angin kencang yang disertai robohnya crane di Masjidil Haram, Mekah dan tragedi di Mina yang berujung wafatnya ratusan jemaah haji saat prosesi lempar jumrah, mewarnai musim haji 2015.

Indonesia pun berduka. Karena, pada dua tragedi itu, cukup banyak jemaah haji Indonesia yang menjadi korban. Baik mereka yang meninggal dunia, maupun terluka.

Dari dua tragedi ini, Indonesia diingatkan akan adanya sistem yang masih belum terbenahi dan tidak boleh terulang di kemudian hari. Mengingat, Indonesia adalah negara dengan jumlah jemaah haji terbanyak di setiap musim haji tiba.

Kondisi itu terlihat dengan sulitnya pemerintah Indonesia mengidentifikasi jemaah yang menjadi korban. Apakah itu jemaah yang wafat maupun terluka pada dua tragedi itu.

Bahkan, hingga saat ini, Kementerian Agama Indonesia menyatakan, masih ada sekitar 74 jemaah haji asal Indonesia yang belum diketahui keberadaannya. Mereka belum juga kembali ke hotel untuk bergabung bersama anggota kloter jemaah haji lainnya.

"Kami akan coba pikirkan. Pengalaman yang cukup pahit bahwa sampai saat ini masih ada jemaah yang belum diketahui keberadaannya," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Jumat 2 Oktober 2015.

Banyak alasan kenapa orang belum kembali, dan itu tidak selalu berarti sudah wafat. Nyatanya, ada juga jemaah haji Indonesia yang setelah lima hari hilang tanpa kabar, akhirnya bisa kembali.

"Kami akan terus mencari. Karena ini menjadi kewajiban pemerintah terhadap warganya di luar negeri," kata Lukman.

Berkaca dari tragedi di Mina, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Sodiq Mudjahid melihat ada masalah ketidakdisiplinan dari para pimpinan jemaah dan jemaah haji.

Ketidakdisiplinan ini menyebabkan jatuhnya korban asal Indonesia dalam tragedi Mina. Para jemaah, bahkan pimpinan rombongan, tidak mematuhi jadwal.

"Anggota rombongan biasanya agak maksa, sehingga pimpinannya mengikuti. Tetapi, ada juga pimpinan kloter atau rombongan yang tidak disiplin," kata Sodiq baru-baru ini.

Berdasarkan pengalamannya berkali-kali menjadi pimpinan rombongan hingga kloter, ada beberapa hal yang menyebabkan para jemaah melanggar jadwal yang sudah ditentukan. Di mana jemaah ingin melakukan ibadah lebih cepat.

"Mereka biasanya pengen lebih afdal, sehingga melanggar jadwal. Jadi, memang dibutuhkan pemimpin yang tegas, kayak tentara, biar semua mau ikut jadwal yang ada," kata dia.

Tawaf dan Rahasianya

Selanjutnya...



Solusi dengan melayangkan protes

Satu Jam di Masjid Nabawi

Saat ini, sebagian besar jemaah haji Indonesia dalam proses pemulangan menuju Tanah Air. Sementara itu, sebagian lain, sedang dalam persiapan untuk diberangkatkan dari Mekkah ke Madinah untuk proses Arbain.

Kementerian Agama RI juga telah mengevaluasi pelaksanaan haji 1436 H/2015 M. Langkah cepat dilakukan guna perbaikan penyelenggaraan haji mendatang.

Dalam surat yang dikirim Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin kepada Menteri Haji Arab Saudi, Pemerintah Saudi diminta segera memperbaiki dan meningkatkan kualitas layanan di Arafah dan Mina.

"Ada dua atau tiga hal yang akan kita ikhtiarkan secara serius. Pertama adalah kondisi Arafah," kata Menag, di Madinatul Hujjaj, Jeddah.

Lukman Hakim mengaku sedih, karena pada malam 8 Dzulhijjah banyak didapati tenda jemaah yang roboh karena diterpa angin. Padahal, angin tidak sekuat saat merobohkan crane di Masjidil Haram. Menag tidak bisa membayangkan kalau kekuatan angin itu sama.

Tak hanya menyebabkan tenda roboh, listrik ikut padam, dan water cooler di tenda Arafah tidak berfungsi. Ini jelas mengganggu pos kesehatan Arafah, karena sejumlah alat tidak bisa difungsikan. Kondisi ini jelas berdampak kepada jemaah yang sakit.

"Saya sudah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Haji agar kondisi Arafah bisa diperbaiki. Membuat tenda-tenda yang permanen di Arafah. Kalau di Mina bisa tenda permanen, di Arafah seharusnya juga bisa," katanya.

Selain itu, perlu dibangun pembangkit listrik berkekuatan besar, sehingga tidak hanya mengandalkan generator yang terbatas. Tapi, pembangkit listrik permanen yang betul-betul bisa menyuplai berapa pun kebutuhan listrik di Arafah.

Hal kedua yang diusulkan menag adalah terkait perbaikan Mina. Menag menyoroti jarak Mina Jadid yang terlalu jauh dan keberadaanya yang dari sisi syari juga masih problematik, apakah sah sebagai tempat menginap atau tidak.

"Kalau jamarat saja bisa ditingkat. Semestinya, tenda di Mina juga bisa ditingkat, sehingga seluruhnya bisa berada di Mina dan jarak ke jamarat juga tidak terlalu jauh. Waktu melontar jumrah juga bisa diatur lebih ketat," kata Lukman Hakim.

Gelang GPS

Indonesia pun memerlukan sebuah solusi yang mengandalkan teknologi keterkinian dalam mengindetifikasi keberadaan jemaah haji.

Selama ini, pemerintah hanya memanfaatkan gelang pelat identitas jemaah haji, sebagai alat identifikasi jemaah yang tersesat atau mengalami insiden saat berada di Tanah Suci.

Namun, dengan tak ditemukannya 74 jemaah haji Indonesia, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin kembali menyampaikan ketertarikannya terhadap penggunaan gelang haji yang dipasangi GPS.

Dengan gelang bersemat chip yang lebih canggih. Gelang ber-GPS saat ini baru digunakan Tabung Haji Malaysia.

"Ide yang menarik dan tidak susah diterapkan. Tinggal gelang jemaah haji diisi chip saja, semua data bisa ditanam di situ," kata Lukman beberapa waktu lalu.

Untuk teknologi ini, Lukman menilai tidak perlu modal besar. Cukup menggandeng perusahaan telekomunikasi saja sehingga gagasan bisa terealisasi.

"Tinggal diberi space untuk logo mereka pasti investor mau. Karena itu bukan sesuatu yang mahal. Itu memudahkan petugas memantau keberadaan jemaah kita," kata Lukman.

Anggota Komisi VIII Desy Ratnasari

Anggota DPR Ingatkan Pemerintah Soal Dana Haji

Uang itu tak boleh digunakan sembarangan.

img_title
VIVA.co.id
17 Januari 2017