Penembakan Massal di AS, Tak Cukup Doa dan Ucapan Duka

Penembakan di Oregon Amerika Serikat
Sumber :

VIVA.co.id - Amerika kembali terguncang. Insiden penembakan terjadi lagi di sebuah kampus di negara bagian Oregon.

Wanita Tembak Diri Sendiri Saat Pose Snapchat

Kampus Umpqua Community College yang berlokasi di Desa Roseburg, Oregon, Kamis pagi, 1 Oktober 2015 mendadak banjir air mata. Drama penembakan meneror kampus  yang berlokasi di wilayah yang tenang tersebut saat siswa sedang menikmati kegiatan belajar, sekitar pukul 10.38 waktu setempat.

Menurut Jaksa Oregon, Ellen Rosenblum,  akibat penembakan tersebut, 13 siswa tewas dan 20 lainnya luka-luka. Pelakunya diidentifikasi sebagai seorang anak muda berusia sekitar 26 tahun. Sebagian media Amerika menyebut nama Chris Harper Mercer. Namun Sheriff Douglas County John Hanlin, menolak menyebut nama pelaku. Ia mengakui pelaku tewas dalam tembak menembak dengan polisi, namun Hanlin masih memilih merahasiakan identitas pelaku.

Penembakan Brutal di Texas, 1 Tewas 3 Luka Parah

“Ini adalah hari yang mengerikan. Saya jamin anda tak akan mendapatkan namanya dari saya,” kata Hanlin kepada media di AS. Hanlin mengatakan tak ingin membuka semua sebelum segalanya jelas. Hanlin juga belum memberikan penjelasan resmi tentang pelaku dan apa motivasi yang menjadi latar belakang pelaku melakukan penembakan dan pembunuhan itu. Pihak kepolisian hanya mengatakan, mereka akan segera menggelar investigasi untuk mendalami kasus ini.

Presiden Obama menyatakan duka citanya dengan kekecewaan yang mendalam. Seperti dikutip dari Reuters, Kamis, 1 Oktober 2015, Presiden ke 45 Amerika Serikat itu kembali menekankan perlunya aturan pengendalian senjata yang lebih ketat.

Penembakan Terjadi Dekat Gedung Putih

"Seperti yang saya katakan beberapa bulan lalu dan saya katakan beberapa bulan lalu, dan saya katakan setiap kali kita melihat penembakan massal semacam ini, doa dan pernyataan duka saja sudah tidak cukup," ujar Obama.

Dia setuju dengan pernyataan yang menyebut aksi penembakan massal dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kelainan jiwa.  "Tetapi, bukan kita satu-satunya negara di muka bumi ini yang memiliki orang-orang yang jiwanya sakit dan ingin menyakiti orang lain. Namun, hanya kita satu-satunya negara maju di planet ini yang menyaksikan penembakan massal semacam ini setiap beberapa bulan sekali,” katanya tegas.

Selanjutnya... 291 Penembakan Massal

291 Penembakan Massal

Presiden Obama benar. Kasus penembakan massal di Amerika jauh lebih sering terdengar dibanding negara maju lainnya. Sebuah penelitian yang dilakukan kriminolog Adam Lankford dari Universitas Alabama membenarkan pernyataan Obama. Lankford memaparkan hal yang menunjukan betapa berbahayanya kepemilikan senjata yang diizinkan oleh pemerintah Amerika terkait dengan pola pikir yang membentuk warga Amerika sendiri.

Menurut hasil penelitian Lankford, Amerika Serikat menjadi negara dengan peringkat pertama untuk kasus penembakan massal. Dari 291 penembakan massal yang didokumentasikan oleh Lankford sejak tahun 1966 hingga 2012, 31 persen di antaranya terjadi di Amerika.

Bahkan jika penembakan massal di negara Perancis, Yaman, Filipina dan Rusia digabungkan, angkanya masih jauh dari angka 31 persen yang dipegang Amerika.  Penembakan massal yang dimaksud Lankford adalah ketika seseorang menembak sejumlah orang, seperti yang terjadi di Amerika.

Soal kepemilikan senjata, dari  178 negara yang masuk dalam analisis Lankford ini, Amerika Serikat berada di peringkat pertama dalam kepemilikan senjata per kapita. Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2007 menemukan 270 juta senjata api dimiliki oleh rumah tangga sipil di AS. Artinya, dari 100 rumah tangga di AS, maka 88,8 di antaranya, pasti memiliki senapan. Di bawah Amerika adalah Yaman, dengan tingkat kepemilikan senjata api berjumlah 54,8 senjata api dari 100 rumah tangga.

Uniknya, Lankford mengatakan,  hasil penelitiannya tidak menemukan relasi antara tingginya kepemilikan senjata oleh warga sipil di suatu negara dengan tingginya angka pembunuhan massal seperti yang terjadi di Amerika. Lankford mengambil contoh Meksiko, Venezuela dan Nigeria. Di tiga negara itu, meski kepemilikan senjata cukup tinggi, namun angka pembunuhan massal tak setinggi di Amerika.

Menurut Lankford, seperti dikutip dari LA Times, Agustus 2015,  ada beberapa hal yang membuat warga Amerika menjadi “mesin pembunuh massal.”  Faktor-faktor itu diantaranya adalah hal yang kronis dan kesenjangan yang besar tentang “Mimpi Besar Amerika,” yaitu antara apa yang diharapkan Amerika dan apa yang sesungguhnya mereka dapatkan, sanjungan tentang ketenaran Amerika, juga tentang kepemilikan senjata di Amerika.

Lankford juga memaparkan, sebuah survei nasional yang dilakukan pada tahun 2013 memberikan hasil, bahwa tingginya keinginan memiliki senjata di Amerika muncul dari keinginan untuk melindungi diri dari tirani, dan tirani yang sesungguhnya adalah keinginan untuk melindungi diri dari “Mimpi Besar Amerika.”

Melalui presentasi yang ia sampaikan di pertemuan tahunan sosiolog se-Amerika di Chicago akhir Agustus lalu, Lankford mengutip data survei yang menunjukkan bahwa pemuda Amerika terus merangkul "Mimpi Besar Amerika," yaitu mimpi tentang meningkatnya prestasi keuangan dan pendidikan, dan melakukan lebih baik dari orangtua mereka. Ketika mimpi ini sulit terwujud, maka mereka  frustrasi. 

"Di Amerika, mungkin lebih dari di negara lain di dunia, ketenaran dihormati sebagai tujuan tersendiri," tulis Lankford dalam makalahnya. "Beberapa penembak massal menyerah pada delusi mengerikan tentang keagungan dan mencari ketenaran dan kemuliaan melalui pembunuhan," katanya menambahkan.

Pada saat yang sama, Lankford juga menemukan, penembakan massal yang terjadi di ruang-ruang komersial atau sekolah lebih mungkin dilakukan oleh penembak Amerika daripada negara lain. Lankford mengambil contoh Eric Harris dan Dylan Klebold,  pelaku penembakan di Columbine High School, pada April 1999.  Lankford mengatakan, keduanya dengan baik menggambarkan dan memberi makan delusi mereka, seperti  berusaha meraih ketenaran dan memperoleh ketenaran dengan tindakan mereka, yaitu melakukan penembakan.

“Mimpi Besar Amerika”, dan kebebasan pemilikan senjata sepertinya menjadi kombinasi yang maut bagi warga Amerika.  Atas pemahaman itulah, ketika menyampaikan duka citanya atas penembakan di Oregon, Presiden Amerika kembali mempertanyakan soal longgarnya aturan kepemilikan senjata.  Ia kembali mengingatkan warganya untuk segera mengetatkan aturan tentang kepemilikan senjata. Ia sadar, kelompok oposisi menganggapnya mempolitisir kejadian tersebut.

"Ini merupakan sesuatu yang justru perlu kita politisasi," ujar Obama seperti dikutip dari Reuters, Kamis, 1 Oktober 2015. Ia juga menyerukan seluruh warga Amerika agar mendorong anggota senat yang mereka pilih melalui pemilu agar segera bertindak dalam menghadapi isu ini.

Selanjutnya... Pengendalian Senjata

UU Pengendalian Senjata

Obama dan Wakil Presiden, Joe Bidden, pernah mendorong agar UU pengendalian senjata segera diteken usai terjadi penembakan tahun 2012 lalu di sebuah sekolah Newtown, Connecticut. Tetapi, upaya itu gagal.

Sejumlah analisis menduga, pengaruh Asosiasi Senjata Nasional (NSA) yang memiliki pengaruh politik yang luas dan kuat di Washington, berhasil melobi senat sehingga UU tersebut gagal  ditandatangani.

Sebagai presiden yang telah menjabat dua periode, Obama tak berhenti mengingatkan tentang ini, terutama setiap kali penembakan terjadi. Namun kongres yang kini dikuasai Partai Republik, sepertinya akan membuat mimpi Obama masih jauh dari harapan.

Semoga Amerika tak perlu menunggu terjadinya kembali insiden penembakan massal dengan korban lebih banyak, hanya untuk memberi batasan atas kemudahan akses untuk mendapatkan senjata. Selain itu, sepertinya “Mimpi Besar Amerika” sudah waktunya berganti, dari berharap mendapatkan ketenaran menjadi melihat kenyataan, ketenaran tak mudah didapatkan.



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya