Kereta Cepat, Proyek Percobaan Berbiaya Besar

miniatur kereta cepat
Sumber :
  • ANTARA/Rivan Awal Lingga

VIVA.co.id - Pemerintah akhirnya memutuskan memilih tetap membangun kereta cepat untuk rute Jakarta-Bandung, bekerja sama dengan China sebagai investor dan kontraktor pembangunnya.

Pembangunan kereta cepat ini merupakan joint venture (kerja sama konsorsium) antara the China Railways Construction Corp Ltd (CRCC) dan konsorsium Badan Usaha Milik Negara, yakni PT Wijaya Karya Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII, PT Kereta Api Indonesia, dan PT Jasa Marga Tbk.

Proyek kereta cepat pertama Indonesia ini sesuai dengan proposal China 
diperkirakan akan memakan biaya hingga US$5,5 miliar, atau sekitar Rp80 triliun dengan kurs Rp14.600 per dolar Amerika Serikat.

Meski begitu, masih belum jelas skema pembiayaan dan pembangunan kereta cepat ini. Hal lain yang paling disoroti adalah, terkait kualitas dan keamanan kereta cepat buatan China ini. 

Apalagi, Indonesia berani memilih China sebagai mitra kerja sama dibanding Jepang, yang sudah mumpuni dalam teknologi kereta cepat. Selama lebih dari 50 tahun terakhir, kereta cepat Jepang, Shinkansen terbukti nyaris tidak pernah terlibat kecelakaan.

Catataan rekor nyaris "bersih" Shinkanden itu tak diraih kereta cepat China. 
Pada 2011, kereta cepat China tercatat pernah mengalami kecelakaan hebat di Wenzhou, yang mengakibatkan setidaknya 36 penumpang tewas dan ratusan lainnya cedera.

Seperti diketahui, Indonesia memilih China sebagai mitra pembangunan kereta cepat, karena China mengajukan proposal baru tanpa jaminan pemerintah Indonesia dan melibatkan anggaran negara.

Menteri BUMN Rini Soemarno, menegaskan proyek kereta cepat dilakukan secara business to business, tidak menggunakan jaminan pemerintah, dan tidak  menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), atau pun Penyertaan Modal Negara (PMN).

"Bapak Presiden menekankan, tidak adanya anggaran dari pemerintah maupun jaminan untuk pembangun kereta cepat. Jadi, kami menekankan tak ada anggaran pemerintah," katanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat, saat rapat kerja dengan DPR di Jakarta, Senin 5 Oktober 2015.

Rini menjelaskan, sebanyak 75 persen pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank. China Development Bank sudah memberikan komitmen pendanaan sebesar 75 persen, atau Rp60 triliun dari proyek dengan jangka waktu pinjaman 40 tahun, graceperiod (periode pencairan) 10 tahun, dan bunga tetap dua persen.

Sedangkan sisa pendanaan sebesar 25 persen, atau Rp20 triliun akan berasal dari ekuitas (modal sendiri) konsorsium BUMN. Dari porsi 25 persennya ini modalnya terdiri atas 60 persen konsorsium perusahaan Indonesia dan 40 persennya dari partner, yakni konsorsium China.

Rini mengatakan Kementerian BUMN tengah melakukan pendalaman dengan Tiongkok, untuk perjanjian konsorsium, atau joint venture agreement. Finalisasi perjanjian, termasuk skema pendanaan kereta cepat diharapkan selesai pada Oktober ini.

"Ini lagi finalisasi joint venture agreement. Kami harapkan dalam bulan ini," 
katanya.

Pengembangan Organisasi di Masa Pandemi: BRI Jalankan BRIVolution 2.0

Direktur Wijaya Karya Bintang Perbowo, mengatakan the China Railways Construction Corp Ltd (CRCC) akan mendapatkan saham mayoritas dalam perusahaan joint venture kereta cepat ini.

Sementara itu, WIKA akan memiliki 30 persen saham, dan porsi saham sisanya dimiliki oleh Jasa Marga, PT KAI, dan Perkebunan Nusantara VIII.  

Bintang mengatakan, pihaknya tengah menghitung biaya investasi yang dikeluarkan perseroan untuk pembangunan kereta cepat. Dia menegaskan, modal investasi akan berasal dari ekuitas perusahaan dan pinjaman bank non BUMN.

"Masih dihitung investasinya. Besar pinjaman masih dihitung. Pinjaman semuanya dari bank asing, tidak ada dari bank pelat merah," katanya.  

Bintang mengatakan, pihaknya bersama konsorsium BUMN yang mengerjakan proyek kereta cepat, masih harus bernegosiasi dengan pihak Tiongkok untuk membahas proyek tersebut.

Sementara itu, Vice President Corporate Communication PT KAI, Agus Komarudin, mengatakan pihaknya belum bisa menjelaskan detail tentang proyek kereta cepat ini. Dia mengatakan, skema kerja sama dan studi kelayakan masih digarap oleh PT KAI, WIKA, Jasa Marga, dan Perkebunan Nusantara VIII.

"Saya masih menunggu kabar detailnya," kata mantan kepala humas Daerah Operasional I PT KAI itu.

Pejabat yang Rangkap Jabatan di BUMN Diminta Buat LHKPN

Memaksimalkan BUMN

Rini mengklaim, dalam proyek ini pemerintah akan memaksimalkan peranan dari para BUMN, termasuk bahan baku dan tenaga kerja. Rini menargetkan, 59 persen pekerja di proyek kereta cepat adalah pekerja di dalam negeri, khususnya untuk kegiatan konstruksi beton. Termasuk, baja yang akan dipasok dari pabrik baja BUMN, PT Krakatau Steel Tbk.

"WIKA akan mendapatkan order terbesarnya dalam pembangunan pilar-pilar dari  jalur precast (beton). Sehingga, order akan besar, di mana keuntungan dari pemasangan itu keuntungan dari ekuitasnya," katanya.

Sedangkan sebagian besar lahan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini akan berada di sisi jalan tol. Karena itu, dalam konsorsium proyek ini dilibatkan Jasa Marga.

Erick Thohir Klaim Temukan 53 Kasus Korupsi di BUMN

Sekitar 80 persen jalur kereta cepat akan berada di sisi jalan tol yang dioperasikan Jasa Marga. Sisanya 20 persen pembebasan dan pembelian lahan lagi akan diurus Jasa Marga. 

Direktur Utama Jasa Marga Adityawarman, menyatakan pihaknya sedang menunggu keputusan pemerintah terkait penugasan dan pembentukan konsorsium BUMN untuk proyek ini.

Dia mengatakan, keterlibatan Jasa Marga adalah memastikan jalur kereta cepat  dapat menggunakan lahan di sekitar jalur tol, yakni tol Jakarta-Cikampek.

"Lahan yang digunakan 60-70 persen. Itu akan melintasi tol kami. Itu tidak perlu investasi lagi, kami akan gabung saja. Tetapi, harus ada setoran modal, kami belum tahu besarannya," katanya.

Aset BUMN jadi jaminan?

Proyek kereta cepat ini mendapat perhatian yang tinggi dari masyarakat dan dewan perwakilan rakyat.

Pemerintah diharapkan tidak hanya berfokus pada pembiayaan kereta cepat, yang tidak menggunakan anggaran negara dan jaminan pemerintah, tetapi juga menjamin kualitas dan keamanan kereta yang nantinya dibangun.

Ketua Komisi VI DPR, Ahmad Hafisz Tohir mempertanyakan skema pembiayaan dan kualitas proyek kereta cepat ini. Apalagi, melihat dari kepemilikan modal konsorsium BUMN kereta cepat ini, dia meragukan pinjaman China diberikan tanpa embel-embel.

"Terkait bisnisnya sendiri, saya kira perlu saya ketahui, apakah BUMN sertakan modalnya atau asetnya? Kalau modalnya tidak pakai uang negara, tetapi aset negara sebagai jaminannya, sama saja," ucapnya.

Hafisz juga mempertanyakan keamanan kereta cepat China. Terutama, dengan adanya kasus kecelakaan kereta cepat di China yang menyebabkan puluhan orang tewas, sehingga operasi kereta dihentikan selama delapan bulan.

Apalagi, proyek kereta cepat Indonesia ini merupakan proyek kereta cepat pertama China di luar negeri. Dia mengingatkan pemerintah, agar Indonesia jangan dijadikan "kelinci percobaan" China untuk proyek kereta cepat. 

Sedangkan Jepang, yang ditolak pemerintah, sudah terbukti memiliki teknologi terbaik dalam kereta cepat dan sudah mentransfer teknologi di Timur Tengah, serta nol kecelakaan.

"Tiongkok untuk di negara lain belum ada bukti nyata, sehingga kami merasa kalau diterapkan di Indonesia jadi kelinci percobaan. Kami belum melihat teknologinya seperti apa?" ujarnya. 

Kekhawatiran lainnya, ditambahkan Hafisz, adalah bila konsorsium gagal 
menyelesaikan pembanguan kereta cepat tepat waktu, atau lebih buruk proyek mangkrak.

Karena itu, diutarakannya DPR akan menilai lebih dulu klausal kontrak joint venture kereta cepat ini jangan sampai merugikan Indonesia.

"Ini dengan Tiongkok enggak bisa main-main, kami harus berhati-hati. Jangan sampai Rp60 triliun bermasalah. Jangan sampai negara bailout," kata dia.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan juga mempertanyakan keputusan pemerintah memilih China menggarap kereta cepat. Terlebih ,Jepang sudah menyelesaikan feasibility study (studi kelayakan) terlebih dahulu. Kenapa, tiba-tiba China yang dapat proyek tersebut?

"Ada tiga pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah. Pertama, kenapa harus China bukan Jepang? Sebetulnya, dari sisi pengalaman dan teknologi, Jepang harusnya lebih unggul," ujar Heri.
 
Kedua, ujar Heri, soal skema investasinya. Ini proyek infrastruktur jangka panjang yang punya risiko keuangan jangka panjang pada BUMN yang ditunjuk dalam konsorsium itu.

"Apalagi dalam konsorsium itu, ada BUMN yang agenda prioritasnya bukan untuk infrastruktur transportasi," ucap Heri.

Ketiga yang dipertanyakan Heri, sebagai investasi jangka panjang, tentu mempunyai dampak pada pendapatan negara dari konsorsium BUMN.

“Karenanya, pemerintah harus memberi klarifikasi secara detail dan lengkap. 
Apalagi, makin kuat isu bahwa ada 'barter proyek' di situ sebagai salah satu 
tukar-guling dengan pinjaman tiga bank BUMN sebelumnya, yaitu Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Dosen Institut Teknologi Bandung, yang juga Chairman 
Infrastructure Partnership and Knowledge Center, Harun al-Rasyid Lubis, mengharapkan pemerintah transparan mengenai proyek kerja sama kereta cepat  dengan China ini.

"Saya pikir, pemerintah harus membuka diri saja. Kan, persoalan pemilihan China  prosesnya sangat tidak transparan. Semua keputusan, jadi satu langkah. Keputusan pendanaan, keputusan tender, dilakukan sangat singkat," ujar Harun. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya