Benarkah Paket Ekonomi Buat Rupiah Menguat?

Ilustrasi uang rupiah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, berhasil berbalik menguat sepekan ini, setelah melemah selama enam bulan terakhir.

Sofjan Wanandi: Demo Tak Pengaruh Iklim Investasi

Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, dolar AS turun Rp256 dari kurs kemarin Rp14.065 menjadi Rp13.809 pada Kamis 8 Oktober 2015.

BI mengklaim, menguatnya kurs rupiah terhadap dolar AS, salah satunya karena dampak dari paket kebijakan ekonomi jilid I, II, dan III. Benarkah?
Rupiah Melemah, Tertekan Gejolak Ekonomi Global

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityawarman, mengapresiasi paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan dalam tiga tahapan, yakni paket ekonomi jilid I, II, dan III.
Sikap Pasar Modal dan Rupiah Soal Aksi Damai 4 November

“Kami mengapresiasi komitmen pemerintah untuk terus melakukan reformasi di structural reform, dan kami juga melihat kebijakan di paket kedua yang untuk menambah suplai valas (valuta asing) di pasar spot dan suplai valas di pasar forward ini juga sudah berdampak positif kepada ekspektasi orang. Dengan mereka yang mulai menjual dolar-dolar AS, karena mungkin kemarin berspekulasi (dapat untung) dengan menumpuknya,” kata Mirza.

Menurutnya, upaya stabilisasi yang dilakukan BI, yang berencana masuk ke pasar forward, direspons positif oleh pasar keuangan. Kondisi ini membuat khawatir spekulasi yang akan dilakukan salah perhitungan. 

Sayangnya, Mirza menilai, level tersebut masih rendah, karena rupiah belum mencapai nilai fundamental sesungguhnya.

"Karena, tetap saja walaupun sudah menguat dari Rp14.700 ke Rp13.800, itu kan masih undervalue (di bawah nilai sesungguhnya). Masih cukup dalam," ujar Mirza. 

Mirza menuturkan, meskipun masih belum menunjukan nilai fundamentalnya, kurs rupiah masih mempunyai ruang untuk kembali melanjutkan tren penguatan. Sebab, sejumlah sentimen domestik pada kuartal ketiga tahun ini mulai menunjukkan perbaikan.

"Sisi domestik sudah membaik. Maksudnya, kemarin deflasi di bulan September. Inflasi sampai akhir tahun mungkin bisa 4,1 sampai 4,2 persen," ujar dia.

Dengan melihat kondisi tersebut, Mirza berharap, pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2015 mulai membaik. Selain karena belanja pemerintah mulai berjalan efektif, hal ini diharapkan turut membantu pemulihan kondisi nilai tukar rupiah.

"Kalau kuartal III-2015 itu kan ,harapannya memang untuk pemulihan. Tetapi, memang tidak signifikan. Paling tidak, di kuartal III dan IV, pengeluaran pemerintah pasti lebih besar. Jadi, kalau kami lihat, akan lebih baik dibandingkan kuartal II," kata dia. 



Kepercayaan mulai pulih

Senada dengan Mirza, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, juga mengatakan penguatan kurs rupiah membuktikan bahwa pelaku bisnis sudah mulai mempercayai upaya penanganan perlambatan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. 

Serangkaian perubahan kebijakan, atau deregulasi yang dilakukan mencermin bahwa pemerintah serius dalam hal tersebut. Seperti diketahui, pemerintah telah merilis paket kebijakan ekonomi jilid I, II, dan III pada 9 September, 29 September, dan 7 Oktober 2015. 

"Orang melihat kebijakan-kebijakan yang diambil. Orang melihat macam-macam kebijakan bahwa itu pemerintah serius, ini membuat orang lebih optimis," tambahnya. 

Darmin mengklaim, melemahnya keperkasaan dolar AS saat ini membuktikan, penguatan sebelumnya murni karena spekulasi pasar keuangan. Tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia yang sebenarnya.

Dia pun optimistis penguatan rupiah akan terus terjadi, seiring dengan berjalannya kebijakan perbaikan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Sehingga, akhirnya dolar AS mencapai posisi sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia saat ini. 

"Sekarang ya juga begitu, pengaruh psikologis lihat menguat, rupiah bergerak cepat," dia menambahkan.

Tak hanya karena paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, Darmin mengatakan, penguatan rupiah terhadap dolar AS juga akibat adanya pengaruh dari kebijakan global.

"Loh tidak (hanya karena paket kebijakan ekonomi). Ini tentu gabungan dari beberapa kebijakan. Salah satunya, ya kebijakan kita. Bagus dong," ujar Darmin.

Salah satu kebijakan global yang memengaruhi laju rupiah, yakni berasal dari bank sentral AS yang dianggap tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya pada akhir tahun ini.

Sehingga, para pelaku pasar keuangan enggan untuk kembali berspekulasi mengenai rencana tersebut.

"Karena Amerika Serikat tidak naikkan tingkat bunganya. Itu membuat pasar yakin. Tidak bagus-bagus amat ekonomi AS," kata Darmin.
 
Di sisi lain, Mirza mengatakan, meskipun tahun ini bank sentral AS (The Fed) telah dianggap tidak menaikkan tingkat suku bunga acuan, ada kemungkinan spekulasi pasar keuangan terhadap kenaikan suku bunga akan bergeser pada kuartal pertama tahun depan.

Sebab, menurut dia, data perkembangan ekonomi negeri Paman Sam selalu dijadikan landasan utama dalam setiap kebijakan The Fed, apakah akan menaikkan tingkat suku bunga acuan, atau tidak.

"Kalau data ekonomi Amerika kuat, ekspektasi Fed Rate akan naik lebih awal itu datang lagi. Maka, konsensus kenaikan suku bunga Amerika bergeser dari kuartal IV, jadi di kuartal I, bahkan kuartal II di 2016. Ini masih dominan," kata dia.



Permintaan dolar AS masih tinggi

Sementara itu, pembelian dolar AS di beberapa tempat penukaran mata uang (money changer) masih tinggi, mengingat aksi masyarakat yang memiliki kebutuhan tertentu.

Money changer PT Kevin Valasindo, yang berada di kawasan Mahakam, Jakarta Selatan, saat dibuka masih didatangi para penukar mata uang Paman Sam tersebut.

"Kami saat ini, kasih harga Rp13.750 per dolar AS. Kalau untuk harga belinya, masih terus berubah," ujar staf pegawai Kevin Valasindo kepada VIVA.co.id di Jakarta Selatan, Kamis 8 Oktober 2015.

Karin, karyawati salah satu perusahaan swasta di Jakarta, mengaku turut memberikan apresiasi positif pada penguatan nilai mata uang Garuda pada akhir-akhir ini.

"Bagus ya, artinya ini menunjukkan kalau pemerintah itu bekerja," kata dia ditemui, saat akan menukar mata uang rupiah ke dolar AS. 

Namun, Ekonom Insitute for Development for Economic and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian, menilai penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini hanya bersifat sementara.

"Penguatan rupiah ini hanya sementara, karena menguatnya bukan karena rupiah, tetapi karena dolar AS-nya yang melemah. Dan, yang menguat bukan hanya rupiah saja, tetapi mata uang negara lain juga ikut menguat," ujar Dzulfian di Hall Dewan Pers, Jakarta, Kamis 8 Oktober 2015.

Dia menyatakan, masyarakat jangan terlalu senang dahulu atas penguatan rupiah ini. Masyarakat harus menunggu dalam beberapa waktu ke depan untuk memastikan bahwa penguatan rupiah ini akan menunjukkan tren positif di berbagai bidang.

"Nanti tergantung, apakah akan ada tren positif dalam waktu dekat, akan ada data realisasinya seperti apa, misalnya di bidang otomotif. Sekarang, masyarakat harus melihat dulu apa yang akan terjadi ke depan," kata dia.

Menurutnya, penguatan rupiah terhadap dolar AS ini lebih disebabkan faktor ekternal karena melemahnya dolar AS, bukan karena internal. Rupiah sangat tergantung pada kondisi global.

"Belum bisa kita lihat pastinya. Kita lihat seminggu ke depan, apakah permanen. Jadi, masih tergantung langkah pemerintah ke depan bagaimana," ucapnya. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya