Menguji Jurus Baru Pengampunan Pajak

Rapat paripurna DPR
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima usulan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional pada 6 Oktober 2015 lalu. Setelah menggelar rapat internal direspons dewan dengan menyepakati nama RUU Pengampunan Nasional diubah menjadi RUU Pengampunan Pajak. 

RUU ini diajukan 33 anggota DPR dari empat fraksi yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi PKB. Para anggota dewan itu mengusulkan agar pembahasan RUU itu masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015 usulan DPR.

Dalam usulan RUU diterima VIVA.co.id, dijelaskan bahwa pengampunan nasional (pengampunan pajak-red) adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan.

Kebijakan ini diberikan negara untuk mendorong rekonsiliasi nasional serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Bila RUU ini lolos, pembayar pajak yang merasa bersalah dan hendak meminta pengampunan atas harta yang dimiliki, diharapkan akan bersedia memenuhi panggilan Pemerintah untuk ikut serta dan sukarela melaporkan harta kekayaan yang ada di dalam dan luar negeri serta membayar uang tebusan untuk memperoleh pengampunan.

Anggota Badan Legislasi DPR RI, Hendrawan Supratikno, meminta semua pihak tak alergi dengan rencana DPR mendorong RUU Pengampunan Pajak atau biasa disebut Tax Amnesty. Sebab, kebijakan serupa pernah diterapkan pemerintah. Di era Presiden Soeharto dikenal dengan kebijakan pengampunan pajak secara parsial tahun 1998.

Sementara di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan pengampunan pajak disebut dengan Sunset Policy yang dilaksanakan pada 2008. Namun pada pelaksanaannya, kebijakan tersebut pengampunan pajak tidak berjalan efektif karena minimnya partisipasi Wajib Pajak, dan sistem administrasi perpajakan yang juga belum efektif.

Kemudian di era Presiden Joko Widodo, pemerintah menargetkan penerimaan negara di tahun 2015 dari pajak yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, sebesar Rp1.294,2 triliun. Direktorat Jenderal Pajak berupaya  memenuhi target itu dengan melakukan reinventing policy (penerapan kebijakan baru).

"Isu tax amnesty ini keluar pada saat reinventing policy," kata Hendrawan di Komplek Parlemen, Kamis, 8 Oktober 2015. [Baca: ]

Selanjutnya, jika RUU ini lolos, Hendrawan menambahkan, nantinya akan dibentuk satu badan pengampunan nasional, yang bertugas memverifikasi proses pengampunan tersebut, dan jika berhasil bisa mengembalikan dana-dana siluman itu kepada negara. "Prinsipnya RUU ini untuk menjaring dana-dana yang masih gentayangan di mana-mana," imbuhnya.

Tarif Pajak RI Bakal Diturunkan?

Rekonsiliasi Nasional

Anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun, yang merupakan salah satu inisiator RUU Pengampunan Nasional, mengatakan payung hukum kebijakan tax amnesty berupa undang-undang sudah sangat mendesak. Menurut dia, proses politiknya harus segera dilaksanakan agar kebijakan itu bisa diaplikasikan segera oleh pemerintah.

"Supaya bisa menjadi bagian penerimaan pada APBNP 2015, maka butuh proses politik yang cepat di DPR untuk RUU Tax Amnesty ini. Itu harus menjadi kesepakatan para pimpinan fraksi di DPR. Saya siap bekerja keras membantu pemerintah Soal penerimaan pajak ini," kata Misbakhun dalam keterangan persnya beberapa waktu lalu.

Soal akan dari mana RUU Tax Amnesty akan dimulai, apakah dari pemerintah atau DPR, politkus Golkar itu menekankan yang terpenting segera diwujudkan. Sebab, bagaimanapun Undang-Undang adalah produk kesepakatan politik nasional.

"Bagi saya kalau tax amnesty nanti kalaupun harus menjadi hak inisiatif anggota DPR tidak menjadi masalah. Justru menunjukkan kepedulian lembaga DPR bahwa secara politik DPR ingin mencari jalan keluar aras permasalahan rendahnya penerimaan pajak kita saat ini," kata Sekretaris Panja Penerimaan Negara itu.

Misbakhun berharap, kebijakan tax amnesty menjadi bagian dari sebuah rekonsiliasi nasional sehingga nantinya selain pemerintah mendapat penerimaan negara dari tax amnesty juga menyelesaikan permasalahan struktural dibidang penegakan hukum.

"Siapa pun yang menggunakan skema mekanisme tax amnesty akan dikeculaikan dari semua tindak pidana kecuali tindak pidana terorisme dan narkoba," ujarnya.

Misbakhun berpandangan, tax amnesty yang digagas saat ini isinya harus meliputi tiga aspek. Pertama, tax amnesty harus menyangkut repratiasi modal sehingga uang warga Indonesia di luar negeri bisa masuk kembali ke dalam sistem perbankan Indonesia.

Kedua, aspek under ground atau hidden economy di dalam negeri harus diberikan jalan keluar supaya masuk dalam sistem ekonomi formal. Yang ketiga, masalah piutang pajak yang ada harus diselesaikan.

"Dengan tiga hal tersebut diselesaikan maka diharapkan permasalahan tax amnesty akan secara keseluruhan menuntaskan permasalahan yang selama tertunda dan masalah tax amnesty akan menjadi kebijakan nasional amnesti," ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Pesatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menolak bila RUU ini disiapkan sebagai pengampunan bagi para koruptor dan pengemplang pajak.

"Soal apakah RUU akan jadi alat pengampunan bagi koruptor, maka jelas bagi PPP bahwa tidak boleh. Jangan sampai UU Pengampunan Pajak ini menjadi sarana melepaskan pelaku kejahatan korupsi, narkotika, terorisme dan tindak pidana pencucian uang untuk tidak diproses secara hukum," katanya kepada VIVA.co.id.

Arsul menjelaskan pembahasan RUU ini harus sebatas untuk mereka yang pada waktu sebelumnya tidak membayar, atau menyembunyikan pajak atas pendapatan dan harta bendanya secara sah dan halal.

Di mana, mereka mengalami kesulitan dengan kondisi ekonomi saat ini. Undang-undang ini untuk menyelesaikan kewajiban pajaknya dengan apa yang disebut sebagai tebusan pajak dengan komitmen ke depan, di mana mereka harus taat terhadap kewajiban perpajakannya.

"Namun, jika ada pendapatan, atau kekayaan yang didapat dengan cara melanggar hukum seperti korupsi dan sebagainya, itu tidak bisa menghilangkan proses hukum yang dilakukan penegak hukum," tegasnya.

Bukan Lindungi Koruptor

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, RUU Pengampunan Pajak ini bukanlah sebagai keinginan pemerintah memberi pengampunan kepada koruptor. Pemerintah akan berupaya meloloskan RUU ini, karena  dengan aturan ini, pemerintah beranggapan bisa menguntungkan negara.

"Jangan disalah artikan pengampunan korupsi. Dalam tax amnesty itu Ada tiga yang nggak berlaku, uang drugs, human trafficking, dan terorism," jelas Luhut, di Istana Negara Jakarta, Senin 12 Oktober 2015. [Baca: ]

Selain itu, jelas Luhut, pemerian tax amnesty juga tidak bisa diberlakukan kepada pihak yang kasus hukumnya sudah P21 atau berkas hukum lengkap. Luhut mengaku, dengan tax amnesty ini maka sebenarnya negara diuntungkan banyak.

"Keuntungan pada negara yang anpaling pokok, kita terima uang masuk ke dalam negeri, jumlah sangat signifikan, diapresiasi World Bank," jelas Luhut.

Selain itu, lanjut dia, Indonesia juga akan punya database pajak yang besar. Juga, bisa menaikkan tax ratio Indonesia dari 11 persen menjadi 13 hingga 14 persen dalam beberapa tahun ke depan.

"Akhirnya, penerimaan pajak akan meningkat dari sekitar Rp1.200 triliun mungkin bisa menjadi Rp2.000 triliun, yang artinya untuk pembangunan dana kita ke depan akan lebih baik," jelas Luhut. [Baca: ]

Atas dasar itu, pemerintah sangat menginginkan agar RUU ini bisa diterima DPR. Bahkan dari informasi yang beredar, bila tax amnesty ini diberlakukan maka pemasukan ke kas negara bisa mencapai US$400 miliar. Luhut menegaskan, pemerintah fight mengajukan RUU ini sebagai inisiatif pemerintah. "Kami yang usulkan pada DPR, dan kami lihat DPR merespon positif," tegas dia.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Tantowi Yahya, juga menolak bila wacana yang berkembang mengarahkan undang-undang ini menjadi bagian dari pengampunan para koruptor maupun pengemplang pajak. Tantowi mendukung RUU Tax Amnesty, bukan RUU Pengampunan Koruptor.

"Pengampunan pajak bukan berarti penghilangan pidana ketika uang tersebut berasal dari hasil korupsi," kata Tantowi dalam keterangan tertulis kepada VIVA.co.id.

Tantowi menegaskan Undang-Undang Pengampunan Pajak diperlukan saat ini, sebagai upaya menarik dana kejahatan pajak yang berada di luar negeri. RUU itu berkaitan dengan upaya pencegahan korupsi. Dipastikan, undang-undang ini tidak melindungi koruptor dan pengemplang pajak.

"Ini dalam rangka pengembalian uang hasil kejahatan yang saat ini diparkir di luar negeri. Kita memerlukan uang itu di tengah kondisi melemahnya ekonomi saat ini," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini.

Antisipasi Dana Repatriasi, KSSK Rapatkan Barisan

Waspada Hanky Panky

Munculnya RUU Pengampunan Pajak ini menimbulkan pro kontra. Di kalangan elit, kemunculan RUU ini dinilai sangat aneh. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmon J Mahesa, mencurigai ada grand design, aktor intelektual di balik munculnya usulan RUU ini. Sehingga munculnya RUU Pengampunan Pajak dipertanyakan.

"Pengampunan itu menjamin adanya pengembalian uang atau tidak? Kan, masih menjadi tanda tanya," kata Desmond di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Politisi Gerindra ini tak yakin jika para pelaku tindak pencucian uang, pengemplang pajak, dan pelaku tindak pidana korupsi kepada negar  itu akan mengembalikan uang kepada negara. Apalagi, uang-uang 'siluman' yang disimpan WNI di luar sistem perbankan nasional sulit dideteksi. "Itu sulit diketahui jumlahnya, sehingga dengan mudah mereka melakukan pelarian uang negara," ujar Desmond.

Lebih dari itu, mantan aktivis ini menekankan agar munculnya RUU ini tidak secara langsung mendeklarasikan, bahwa Indonesia mengampuni orang yang membawa lari uang negara. Sebab yang kemudian muncul di tengah masyarakat adalah isu ketidakadilan.

"Ini yang mau diampuni di dalam negeri atau dari luar negeri? Dari luar negeri ini siapa? Sumber dananya uang haram atau apa? Jangan-jangan ada hanky panky (tipu daya) dibalik RUU ini," tegasnya.

Sementara itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mendesak DPR untuk segera membatalkan dan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak atau sering disebut tax amnesty. FITRA mencatat ada sejumlah masalah dalam RUU tersebut.

"Dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak salah tafsir, dalam pasal 23 A, hal tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 pasal 23 dan 23 A tentang pengelolaan Anggaran Pendapat Negara (APBN) dan Pemungutan Pajak. Di mana pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa, bukan mengampuni," kata Manajer Advokasi FITRA, Apung Widadi, dalam pernyataan tertulisnya kepada VIVA.co.id, Senin, 12 Oktober 2015.

Menurutnya ada prioritas yang lebih penting untuk didahulukan daripada pembahasan RUU pengampunan Pajak, yakni revisi Undang-undang nomor 6 tahun 1983 dan revisi nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Secara substansi, RUU Pengampunan Pajak juga mendegradasi UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan sistem pemungutan pajak. Proses RUU Pengampunan pajak ini terkesan dipaksakan karena belum ada naskah akademiknya, sehingga potensi melanggar aturan sebelumnya akan sangat besar," ungkapnya.

Ia melihat RUU ini berpotensi menjadi fasilitas karpet merah bagi konglomerat pelaku kejahatan ekonomi dan financial serta pencucian uang. Di mana dalam RUU tersebut dicantumkan bahwa, seseorang atau badan mengajukan pengampunan, maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal usul. "Pengampunan pajak ini akan memperlebar kesenjangan," kata Apung.

Selain itu ia melihat dalam RUU ini, pengampunan didasarkan pada persentase jumlah harta secara keseluruhan untuk merumuskan berapa besar jumlah uang tebusan. Sistem ini naif karena masalah rahasia perbankan di mana sistem dirjen pajak sekalipun belum bisa masuk dan bebas tanpa bantuan penegak hukum.

"Jumlah uang muka dalam RUU pengampunan sangat kecil dan tidak berdampak pada peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak. Uang tebusan hanya 3,5 % -8% saja. Seharusnya tanpa sanksi pidana, uang tebusan diatas 25 %," ujar dia.

Apung melihat RUU Pengampunan pajak sebagai kebijakan akal-akalan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu, saat negara membutuhkan dana segar untuk pembiayaan infrastruktur.Selain itu RUU ini dianggap berpotensi membuka transaksi korupsi.

"Ini tercermin dengan pengelolaan yang diserahkan kepada Satgas, karena sistem pengawasan, transpransi dan akuntabilitasnya tidak ada. Justru ruang ini akan menjadi ruang transpaksional yang legal dengan memanipulasi perhitungan uang tebusan," katanya.

Atas dasar itu FITRA mendesak pemerintah menolak RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). "Sebagai alternatif, pemerintah perlu melakukan terobosan dalam pemungutan pajak, pengawasan dan perbaikan sistem hukumnya. Sehingga potensi pajak hilang dapat ditarik. Bukan sebaliknya obral pengampunan," kata dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Turunkan Tarif Pajak Badan, Pemerintah Ajukan Revisi UU KUP

Besaran tarif pajak masih dikalkulasi agar ideal dan bersaing.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016