Drone Amfibi, Pengawal Pertahanan RI

Drone OS Wifanusa
Sumber :
  • VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto

VIVA.co.id – Ruang sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2014 bergemuruh. Semua hadirin bertepuk tangan.

DPR Minta Pemerintah Andalkan Drone untuk Jaga NKRI

Di sebuah mimbar, Joko Widodo, yang saat itu baru saja diambil sumpahnya sebagai Presiden ke-7 RI, menyampaikan pidato singkatnya. Salah satu isinya menyinggung tekad untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim.

"Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, memunggungi selat dan teluk," kata Jokowi, saat itu yang disambut tepuk tangan hadirin.  

Teknologi Drone Ternyata Telah Dipatenkan Sejak 1898

Sebagai negara dengan belasan ribu pulau, kekuatan maritim di Tanah Air belum optimal tergarap. Riset kelautan pun masih sangat minim.

Indonesia masih membutuhkan banyak teknologi untuk mewujudkan tekad Jokowi itu. Merealisasikan semboyan nenek moyang di masa lalu kembali membahana di seantero negeri. "Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya".

Drone Buatan Ongen Akan Dibekali Persenjataan

Untuk memanfaatkan potensi maritim itu, pertahanan di laut tak boleh abai. Pemanfaatan teknologi untuk pertahanan menjadi salah satu solusi.

Dan, sebentar lagi, Kementerian Pertahanan akan menerbangkan dua unit burung besi Unmanned Aerial Vehichle (UAV) atau pesawat tanpa awak bernama OS Wifanusa.

UAV tersebut merupakan salah satu karya anak bangsa melalui produksi oleh PT Trimitra Wisesa Abadi.

Menariknya, UAV yang digarap oleh Trimitra Wisesa Abadi ini merupakan pesawat tanpa awak tipe amfibi pertama di Tanah Air. Konsep awalnya, bagaimana drone bisa terbang dan mendarat, bukan hanya di landasan, tetapi juga di air.
 
"Pertama bukan satu-satunya, tetapi untuk UAV kelas tinggi dan itu amfibi baru," ujar ujar Yosa Rosario, Electrical and Programmer System Trimitra Wisesa Abadi ditemui VIVA.co.id di Topad Mabes AD, Jalan Kali Baru Timur, Jakarta, Selasa 26 April 2016.

Yosa melanjutkan, daya jelajah UAV yang terbatas membuat drone tersebut kesulitan untuk menemukan landasan yang tepat untuk di darat. Terlebih, UAV berbeda dengan pesawat awak yang daya jelajahnya luas hingga menggapai landasan yang diinginkan.

"Untuk UAV terbaik di Indonesia itu jangkauannya sekitar 100-200 kilometer. Kalau sekitar itu akan kesulitan menemukan landasan, terutama drone untuk pemantauan daerah terluar Indonesia,” ujarnya.

Dia mengatakan, dengan profil Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim dengan wilayah yang lebih banyak airnya, Wifanusa tidak perlu mencari landasan. Tapi, di air sudah bisa mendarat atau terbang.

Drone berwarna hijau dan tampak menyerupai helikopter versi mini ini, dapat lepas landas pada ketinggian 5.000 meter atau 15.000 kaki di atas permukaan.

Pesawat tanpa awak yang akan diserahkan ke Kementerian Pertahanan pada Juni 2016 ini, dapat mengangkasa 8-10 jam dengan bahan bakar Pertamax.

"Daya jelajahnya sampai 500 kilometer. Wifanusa dapat mendarat atau terbang di atas lautan yang tenang, bukan kondisi badai," ucapnya.

Proses pembuatan Wifanusa ini menghabiskan waktu riset sekitar tiga tahun. Namun, terkait biaya, Yosa menolak untuk membeberkannya. Tapi pastinya, Kementerian Pertahanan memesan drone amfibi itu sebanyak dua unit.

"Bulan Mei akan selesai masa uji cobanya dan pada Juni kami akan serah terima dengan Kementerian Pertahanan," kata dia.

Selanjutnya...Pantau Wilayah Terluar

Drone bertitel OS Wifanusa ini direncanakan menjadi benteng pertahanan Indonesia untuk memantau wilayah terluar.

Anca Auliansya, dari Manajemen Produksi dan Pelatihan Trimitra Wisesa Abadi, mengatakan, pemesanan UAV yang bisa lepas landas dan mendarat di darat, atau pun air, seperti sungai, danau, hingga laut ini dilengkapi tiga buah kamera. Masing-masing kamera mengusung resolusi 80 megapiksel.

"Kamera pertama merekam video, kamera kedua untuk pemetaan, dan kamera satu lagi digunakan sebagai alat tracking," ujar dia.

UAV ini digunakan untuk memantau wilayah perbatasan dan wilayah terluar Indonesia yang sebagian besar merupakan laut.

Wifanusa ini memiliki kemampuan sistem kendali jarak jauh mencapai 100 kilometer untuk menerima data yang direkam secara real time, atau bisa streaming video. Sistem pada UAV ini, juga mempunyai kekuatan berupa terbang secara auto yang dilengkapi dengan sistem navigasi dan telemetri yang akurat.

"Wifanusa punya keunggulan lainnya untuk melaksanakan operasi pengawasan dan melakukan foto udara untuk keperluan pemetaan," ucapnya.

Teknologi pesawat tanpa awak sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak 2004. Selanjutnya, pada 2013, Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) mulai menyiapkan program perintis industrialisasi untuk memproduksi pesawat udara nir awak (PUNA) yang diberi nama Wulung itu secara massal.

Menurut Kepala BPPT saat itu, Marzan A. Iskandar, BPPT telah bekerja sama dengan PT Dirgantara Indonesia (DI), PT LEN Industri, dan Kementerian Pertahanan untuk pengembangannya.

Ia menjelaskan, BPPT bertindak sebagai pembuat teknologi, sedangkan PT DI yang memproduksi. Selanjutnya, PT LEN Industri bertugas untuk penerapan teknologi sistem kendali. Kemhan nantinya sebagai pengguna.

"Pesawat nirawak ini memiliki misi militer dalam pengawasan sistem pertahanan dan keamanan nasional," ujar Marzan saat itu.

Sementara itu, PT Dirgantara Indonesia menyebut upaya tersebut penting untuk kemajuan sistem inovasi nasional.

Saat itu, kerja sama itu memiliki program kelanjutan, di antara perluasan di bidang teknologi pertahanan, dirgantara, dan energi. Respons baik pun diberikan oleh Kemhan terhadap pembuatan PUNA Wulung.

Lalu, bagaimana kini perkembangannya? Teknologi bakal menjadi bagian tak terpisahkan dari pertahanan wilayah Indonesia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya