Reklamasi Dilanjutkan Jokowi dengan Proyek Garuda

Ilustrasi/Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang juga akan mereklamasi Teluk Jakarta
Sumber :
  • VIVA.co.id/ncicd.com

VIVA.co.id – Tekad pemerintah untuk membangun pulau buatan di Teluk Jakarta sepertinya sudah bulat. Dengan menggebu, seminggu pasca mengeluarkan keputusan menghentikan sementara proyek reklamasi 17 pulau di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan baru, melanjutkan proyek.

DKI Tunjuk Denny Indrayana Jadi Pengacara Gugatan Reklamasi

Dalam rapat kabinet terbatas mengenai proyek reklamasi di Kantor Presiden Rabu, 27 April 2017, Presiden mengatakan pengendalian sumber daya air dan lingkungan di wilayah DKI Jakarta harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. 

Untuk itu, lanjut Presiden, pembangunan pesisir ibu kota negara dalam proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), yang sudah digagas cukup lama, akan menjadi sebuah jawaban untuk Jakarta. 

Anies Ungkap Ada Lebih 1.000 Bangunan Diberikan IMB di Pulau Reklamasi

“Jangan dipersempit yang berkaitan dengan reklamasi Jakarta,” ujar Presiden di rapat.

Presiden menekankan tiga hal yang harus dipenuhi dalam pembangunan wilayah pesisir Ibu Kota. Pertama, dari aspek lingkungan, baik biodata laut maupun mangrove. Kedua, aspek hukum, mengikuti kaidah-kaidah serta aturan-aturan hukum yang berlaku. Ketiga, aspek sosial, khususnya berkaitan dengan kehidupan nelayan.

Anies akan Revisi Raperda tentang Zonasi Pulau Reklamasi

Presiden juga menegaskan bahwa proses pembangunannya nanti harus dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah, bukan swasta. Untuk itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diperintahkan menyelesaikan desain besar pembangunan pesisir yang terintegrasi, antara 17 pulau alfabet  dengan pulau dalam proyek NCICD. 

Usai rapat, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan, proyek NCICD ini oleh pemerintah dinamakan proyek Pulau Garuda, karena rencananya pulau ini akan dibentuk menyerupai burung garuda.

"Proyek ini berbeda dengan reklamasi di pulau-pulau yang disebut ABC sampai 17 pulau. Presiden telah memberikan arahan sekaligus meminta Bappenas selama moratorium (penghentian sementara) 6 bulan ini untuk menyelesaikan planning besarnya antara Garuda Proyek tadi, atau NCICD dengan terintegrasinya reklamasi yang 17 pulau," kata Pramono, dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu 27 April 2016.

Namun, belajar dari beragam kontroversi terkait pembangunan 17 pulau alfabet, pemerintah menginginkan pemerintah daerah mengkaji kembali semua aturan terkait reklamasi. 

"Jadi akan dilakukan pembenahan, dan untuk itu, Gubernur DKI, Jabar (Jawa Barat) diminta mensinkronkan dan mengintegrasikan semua peraturan perundang-undangan dan juga menyampaikan ke Bappenas untuk menjadi plan bersama," ujar Pramono

Gerak Cepat Pemprov DKI

Sehari setelah kebijakan NCICD keluar, tak perlu waktu lama bagi Pemprov DKI untuk menatap kelanjutan proyek reklamasi ini. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menjelaskan sudah menerima bantuan dari beberapa negara untuk melakukan studi kelayakan proyek pulau Garuda.

Meski belum memiliki kejelasan pelaksanaan, Ahok, sapaan sehari-hari Basuki, mengungkapkan proyek reklamasi yang akan mengintegrasikan Giant Sea Wall, 17 pulau alfabet dengan pulau Garuda itu, dibantu Belanda dan Korea Selatan yang memiliki pengalaman lama dalam reklamasi laut.

"Kita sudah dapat bantuan dari Belanda dan Korea Selatan untuk membuat feasibility study (kajian kelayakan)," ujar Ahok di Balaikota DKI, Kamis 28 April 2016.

Dari penelusuran VIVA.co.id dari situs NCICD.com, proyek ini  bermula di 2007, pasca terjadinya banjir besar Jakarta, yang membuat jutaan masyarakat terpaksa mengungsi. Melihat kenyataan itu, Pemerintah Belanda menawarkan bantuan agar Pemerintah Indonesia bisa mengambil tindakan tepat untuk mengantisipasi banjir.

Antara 2009 sampai 2012, cetak biru untuk strategi ini dikembangkan di dalam proyek Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS). Pendekatan utama dari proyek ini adalah membangun 3 baris lini pertahanan laut dalam waktu 20 hingga 30 tahun ke depan.

Inisiatif JCDS kemudian diimplementasikan dalam proyek NCICD, yang akan melewati tiga tahapan besar. Pada tahap A, mereklamasi 17 pulau dan peninggian tanggul di Sunda Kelapa. Tahap ini sudah dimulai sejak diresmikan pengerjaannya oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung pada 9 Oktober 2014. 

Kemudian, dilanjutkan pembangunan awal konstruksi tanggul laut yang masuk dalam rencana pembangunan tahap B. Pada tahap akhir atau tahap C, pembangunan Giant Sea Wall.

Melihat skema tahapan ini, dinding laut pada tahap A diperkirakan hanya bertahan sampai 2025, dan dengan proyeksi pembangunan Giant Sea Wall selama 7 tahun, maka minimal Pemprov DKI Jakarta harus sudah memulai proyek itu pada 2018.

Kepentingan Rakyat di Atas Proyek?

Meski pemerintah melihat ada kebutuhan mendesak untuk segera membangun serangkaian proyek reklamasi ini, Komisi IV DPR tetap mengingatkan agar tidak mengambil tindakan secara serampangan. 

Langkah pemerintah mesti dilakukan secara matang, dan diperhitungkan dengan mengedepankan manfaat pada masyarakat.

"Melanjutkan itu bukan melanjutkan reklamasi untuk dibuat lebih luas, tetap statement-nya Presiden akan mengikuti aturan. Kami (Komisi IV) putuskan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan agar tidak serta merta memberi izin, tapi bagaimana mengeluarkan izin dengan melakukan berbagai kajian dulu sebelumnya," ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 28 April 2016.

Untuk itu dia berharap jajaran di bawahnya, dalam hal ini Pemprov DKI, agar mengikuti ketentuan itu dan mengerjakan proyek sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Hal ini menyangkut Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang menyatakan bisa tidaknya dilakukan reklamasi di wilayah yang sudah ditunjuk.

"Konteksnya tidak ada reklamasi yang secara sporadis dan parsial yang seolah mengejar target ini," jelasnya.

Herman pun mengungkapkan, beragam polemik yang terkait proyek reklamasi saat ini, seperti kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), keputusan moratorium pengerjaan proyek, sampai penundaan pembuatan peraturan daerah terkait reklamasi, adalah dampak dari pengerjaan yang terburu-buru.

"Ini dampak, impact yang ditimbulkan akibat dari pemaksaan kehendak pemangku jabatan pimpinan daerah, bahkan dari siapapun di belakang itu," terangnya.

Kemudian melanjutkan, "Pemaksaan kehendak memiliki motif lain, tentu ini akan ketemu kembali kenapa ada pemaksaan kehendak? Saya pikir gubernur yang tidak ada kepentingan akan setop, dan ikuti aturan. Ini seolah ditentang dan dipaksakan, ini ada pelanggaran, ada kejahatan lingkungan yang tak menghiraukan aturan."

Herman berharap, setelah ada pemerintah memutuskan untuk mengintegrasikan keseluruhan proyek reklamasi menjadi NCICD, tidak ada lagi masalah baru mengenai aturan dan polemik menyangkut proyek ini, sehingga masyarakat juga bisa menikmati manfaatnya. "Pembangunan kalau bukan untuk rakyat, ya untuk siapa?"

Meski pemerintah dan DPR memiliki kesamaan pandangan untuk melanjutkan proyek reklamasi, sebagian masyarakat menentangnya. Terutama nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) sebagai wadah komunitas nelayan tegas menolak proyek reklamasi.

Penolakan dilakukan karena sejak awal, pemerintah tidak pernah mengajak dialog nelayan, dan memberikan kesempatan mereka untuk mencurahkan kebutuhannya. "Masyarakat nelayan yang terkena dampak ini harus mendapatkan penjelasan yang semestinya," ucap M. Taher, Ketua KNTI Jakarta, saat dihubungi VIVA.co.id Kamis 28 April 2016.

Akibat dari tidak adanya dialog ini, pembangunan justru mengugurkan kesempatan nelayan untuk melaut. Terutama nelayan di Kali Baru dan Marunda. "Di Kali Baru tidak bisa masuk perahu, mereka berlindung di wilayah muara baru, pembangunan tanggul air rob itu harus dirancang ulang, sampai hari ini masyarakat nelayan tidak diajak biacara, belum lagi bicara Amdal," jelas Taher. Amdal adalah singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Belum lagi masalah pembuatan 17 pulau alfabet selesai, kini pemerintah sudah melanjutkannya ke tahap baru, dengan NCICD. Tapi tetap saja, nelayan tak dilibatkan dan dimintakan pendapatnya mengenai kebutuhan yang mereka perlukan.

"Ada wacana yang dilakukan oleh pemerintah itu membuat masalah baru, pemerintah juga harus berdialog dengan masyarakat nelayan," ucap Taher.

Taher juga merasa miris, "itu kan simbol Garuda, jangan Garuda yang kita perjuangkan dengan darah nenek moyang, jangan yang berkembang malah garuda ini menjadi simbol penindasan masyarakatnya."

Senada dengannya, Nur Hidayati, Ketua Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menganggap NCICD tidak memberikan solusi pada masalah lingkungan dan sosial yang terjadi di Teluk Jakarta.

Lembaga swadaya masyarakat yang perhatian terhadap masalah lingkungan ini beranggapan, apapun bentuknya, reklamasi di Teluk Jakarta hanya akan membawa dampak buruk pada habitat laut dan kehidupan nelayan. 

Dia melihat pemerintah hanya mengambil jalan pintas, karena menganggap laut di Teluk Jakarta sudah rusak parah dan dianggap tidak memberikan manfaat ekonomi, sehingga menggantinya dengan sebuah proyek yang akan memberikan pemasukan besar pada negara.

"Masalah Teluk Jakarta ini sudah dalam krisis cukup parah, seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah rehabilitasi kawasan Teluk Jakarta. Ini ibarat orang sakit, bukan diobati tapi malah dibunuh," ucap Yaya, sapaan akrab Nur Hidayati.

Tak hanya itu, dia juga heran pada sikap Presiden Jokowi untuk melanjutkan reklamasi menjadi NCICD. Sebab, proyek 17 pulau alfabet masih meninggalkan banyak masalah dan belum mendapatkan penyelesaian. Namun bukannya fokus pada masalah itu, pemerintah malah meneropong proyek lebih besar, pulau Garuda.

"Di moratorium reklamasi itu untuk melihat kekacauan perizinan dan pelanggaran lain. Itu yang diatasi, bukannya pemerintah membuat reklamasi lebih besar dan digabungkan," terangnya.

Hal ini menimbulkan kecurigaan baru pada pemerintah mengenai motif di balik keputusan melanjurkan reklamasi 17 pulau menjadi NCICD. "Konsultasi publik untuk proyek reklamasi sangat minim, izin dikeluarkan tanpa pengetahuan publik. Tidak ada transparansi dari pemerintah, dan ini bermasalah," kata Yaya.

"Ini patut diduga (ada kepentingan bisnis), sejauh ini yang memang terindikasikan ada korupsi itu, ditangkapnya anggota DPRD, dan ini semua akan menjadi proyek properti, tentu saja itu akan membawa keuntungan pada developer," tambahnya.

Jadi dia pun menuntut pemerintah untuk memberikan penjelasan ke publik mengenai alasan melanjutkan pembangunan. Di saat masalah proyek alfabet belum memiliki kesimpulan dan rekomendasi penyelesaian. Menurutnya, "bagi masyarakat belum tentu reklamasi akan bisa dirasakan secara optimal, dan sampai saat ini melibatkan modal yang besar, tapi untuk siapa?"

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya