Beratnya Ramadan di Mancanegara

Pengungsi Suriah sedang membaca Quran di tenda pengungsian di Turki.
Sumber :
  • Reuters/Umit Bektas

VIVA.co.id – Beruntunglah muslim di Indonesia. Suara bising yang dihadapi saat berpuasa hanya petasan. Namun di belahan dunia yang lain, Muslim yang sedang berpuasa menghadapi ujian dengan dentuman suara bom atau kerinduan yang sangat karena tak ada lagi kampung halaman.

Pengungsi Suriah di Jerman Rindu Santapan Khas Ramadan

Muslim di negeri beriklim tropis ini juga masih bisa menikmati puasa dengan waktu yang tak terlalu panjang, hanya sekitar 13 jam. Bandingkan dengan negara-negara lain di Amerika atau Eropa, yang waktu  puasanya bisa lebih dari 15 jam.

Asim dan Zeinab, dua warga Suriah yang kini menetap di Lebanon mengaku tak bisa menyambut Ramadan dengan bahagia. Sejak 2011, mereka terdampar di pengungsian tanpa bisa kembali ke kampung halaman mereka di Suriah. "Kami berhenti merayakan Ramadan. Kami berhenti berpuasa karena kondisi hidup yang buruk dan pendapatan yang sedikit. Kami tak merasakan kebahagiaan apa pun," ujar Zeinab, seperti diberitakan oleh Al Jazeera, 7 Mei 2016.

Tahun Ini, Muslim Inggris Jalani Puasa Terpanjang

Asim dulu bekerja di perusahaan konstruksi, dan Zeinab merawat pohon-pohon zaitun. Biasanya setiap Ramadan tiba mereka akan belanja pakaian dan mainan untuk dua anak mereka. Namun serbuan tentara tahun 2011 membuat keduanya melarikan diri melalui sungai al-Kabir ke Lebanon. Kini, Asim mengaku hanya bisa memandang kampungnya melalui sebuah bukit di Lebanon. Ia tak berani kembali pulang.

Kesedihan sebagai pengungsi juga dirasakan oleh Khidr Yetim, pengungsi Suriah yang menetap ditenda pengungsian di Dulkadirolu,Kahramanmara,Turki. Ini adalah tahun kelima Yetim melalui puasa di pengungsian. Meski mendapat perlakuan yang baik, ia mengaku tetap merindukan negaranya. "Saya berharap perang akan berakhir di bulan Ramadhan ini dan kami bisa kembali ke rumah," kata Yetim seperti dikutip dari Daily Sabah, Selasa, 7 Juni 2016.

Puasa di Pengungsian, Muslim Suriah Berharap Bisa Pulang

Doa agar bisa kembali ke Suriah juga disampaikan oleh Fatmah Kaddur. Perempuan yang telah empat tahun tinggal di kamp pengungsi di Dulkadirolu itu juga mengaku berdoa siang dan malam agar perang segera berakhir, dan mereka bisa kembali ke Suriah.Namun harapan warga Suriah yang berada di pengungsian sepertinya sulit terwujud. Ramadan hari pertama atau Senin, 6 Juni 2016, Aleppo, salah satu kota utama di Suriah kembali diserang.

Rusia menuding serangan itu dilakukan oleh kelompok militan ISIS dan Al Nusra. Diberitakan oleh Sputniknews, 7 Juni 2016, dalam 24 jam, pemukiman Handrat, Bandara al-Nairab serta al-Muhafaza, Meydan, Sheikh Maqsood dan kabupaten al-Zahra di Aleppo menjadi sasaran tembakan dari beberapa peluncur roket dan mortir," kata sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Pusat Rekonsiliasi yang berbasis di Rusia.

Sementara itu di Damaskus, jantung kota Suriah, warga melalui Ramadan dengan keluhan mahalnya harga makanan. Perang yang telah berlangsung selama lima tahun membuat pasokan makanan sangat sedikit, akibatnya harga meroket, bahkan melonjak hingga 600 persen. Tradisi Ramadan tak bisa lagi mereka nikmati karena harga pangan yang tak terjangkau.

"Sudah bertahun-tahun kami tak lagi bisa menyediakan daging di meja makan kami. Hanya ayam dan sayuran. Dulu kami hanya menghabiskan belanja sekitar Rp800 ribu per bulan, namun sekarang kami harus menghabiskan lebih dari Rp13 juta untuk makanan yang tak seberapa," cerita seorang wanita yang tinggal di Damaskus, seperti dikutip dari BBC, 7 Juni 2016.

Dr. Salma al Nasr, seorang dokter gigi yang berpraktik di Suriah mengatakan pada Al Arabiya, Ramadan di Suriah sebelum perang, tak bisa dibandingkan dengan Ramadan setelah perang. Menurutnya, setiap Ramadan, harga makanan memang selalu lebih mahal, namun saat itu bahkan keluarga yang paling miskin mampu menghidangkan daging di meja makan mereka.

"Kami menyantap kibbeh (pie daging), dan anggur segar setiap hari," ujarnya. "Bagi warga Suriah, menyantap daging seperti mengunyah apel sebagai cemilan," katanya menambahkan. Tapi situasi kini berubah total. Daging sangat langka dan harganya melangit.

Jika di wilayah Timur Tengah, Muslim merayakan Ramadan di tengah desingan peluru, dan harga bahan makanan yang sangat mahal dan langka, maka Muslim di Eropa akan melalui Ramadan dengan waktu berpuasa yang jauh lebih panjang. Di Inggris, Muslim akan berpuasa selama 19 jam. Lamanya waktu berpuasa di Inggris bahkan membuat Wali Kota London yang Muslim, Sadiq Khan, mengaku akan sangat merindukan kopi.

"Biasanya saya meminum kopi untuk menjadi semangat di tengah rapat yang membosankan. Namun waktu puasa kali ini sangat panjang, dan saya tak tahu bagaimana melaluinya," ujar Khan, seperti dikutip dari The Guardian, Senin, 6 Juni 2016.

Situasi terberat mungkin akan dialami Muslim di Denmark, di mana mereka akan berpuasa selama hampir 21 jam. Di Denmark, saat ini matahari hanya terbenam selama tiga jam.

"Di dataran tinggi, cahaya tidak pernah benar-benar pergi. Itu senja, bukan gelap gulita. Kami masih harus menjalani kehidupan, sehingga bisa saja puasa terasa menjadi sulit," ujar Dr Waheed Khan, dari Inverness Masjid, Inggris, ketika berbicara tentang tantangan agar umat Muslim bisa menghadapi bulan Ramadan. "Tapi Muslim termotivasi untuk berpuasa. Berpikir tentang hal itu sepertinya sulit, tetapi melakukannya akan baik-baik saja," katanya, seperti dikutip dari IB Times, Selasa, 7 Juni 2016.

Sementara di Saudi Arabia dan negara sekitar teluk lainnya, selain berhadapan dengan waktu puasa yang mencapai 15 jam, maka Muslim di Saudi Arabia dan sekitarnya juga harus berjuang dengan suhu udara yang cukup tinggi, mencapai 50 derajat celcius.

"Temperatur maksimum di Saudi Arabia dan negara teluk lainnya akan berkisar diantara 45-50 derajat celcius selama Ramadan," ujar ahli metereologi Saudi, Khalid Al Zuak, seperti dikutip dari whatson.ae, 7 Juni 2016.

Kondisi sosial politik yang tak aman, waktu berpuasa yang amat panjang, atau kondisi cuaca dan temperatur suhu yang ekstrem jelas dihadapi Muslim di seluruh dunia. Namun situasi itu tak menyurutkan keimanan mereka untuk tetap menjalankan salah satu perintahNYA. Maka, meski hadangan begitu nyata di depan mata, kalimat dari Dr. Waheed Khan sangat relevan jadi pegangan, "Tapi Muslim termotivasi untuk berpuasa. Berpikir tentang hal itu sepertinya sulit, tetapi melakukannya akan baik-baik saja."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya