Culik WNI Lagi, Abu Sayyaf Coba Pecundangi Indonesia

Ilustrasi/Kelompok Militan Abu Sayyaf di Filipina Selatan.
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id – Kelompok bersenjata Filipina lagi-lagi membuat prahara. Tujuh orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang merupakan anak buah kapal (ABK) Tugboat (TB) Charles 001 dan tongkang Robby 152, diculik saat melintas di perairan Sulu, Filipina Selatan.

Ogah Bayar 8 Miliar Tebus Sandera 5 WNI, Tentara Mau Gempur Abu Sayyaf

Kelompok Abu Sayyaf, lagi-lagi menjadi biang kerok, dan berada di balik aksi penculikan tersebut. Tercatat, dalam empat bulan terakhir, Abu Sayyaf telah membuat perkara dengan Indonesia sebanyak tiga kali dalam kasus serupa.

Terkait kasus ini, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, mengaku geram dengan aksi kelompok sempalan dari kubu MILF (Barisan Pembebasan Islam Moro) itu. Dalam sebuah keterangan pers, Retno menyatakan penyanderaan ketiga kalinya ini sudah tidak dapat ditoleransi.

5 WNI Disandera Abu Sayyaf, Minta Ditebus 8 Miliar

Retno dengan tegas menyatakan, pemerintah Indonesia mengecam keras terulangnya penyanderaan terhadap WNI oleh kelompok bersenjata di Filipina Selatan. Jakarta, kata dia, meminta pada Manila untuk segera memastikan keamanan di wilayah perairan Filipina Selatan, sehingga tidak mengganggu kegiatan ekonomi kawasan sekitar.

Pemerintah Indonesia juga disebut bakal melakukan berbagai cara untuk segera membebaskan para sandera. Kata dia, keselamatan ketujuh WNI adalah hal yang sangat menjadi prioritas. "Kejadian ketiga kalinya ini sangat tidak dapat ditoleransi. Pemerintah akan melakukan semua cara yang memungkinkan untuk membebaskan para sandera," kata Retno.

Penculikan Abu Sayyaf Berulang, Malaysia Tingkatkan Keamanan

Sementara itu, dari informasi yang diperoleh dari Kementerian Luar Negeri, penyanderaan ketiga yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf oleh WNI itu terjadi pada 20 Juni 2016. Aksi dilakukan dua kali, yakni pertama sekira pukul 11.30, dan kedua sekira 12.45.

Dari 13 ABK yang menjadi kru Charles 001 dan tongkang Robby 152, enam ABK dilepaskan dan dipersilakan membawa serta kapal untuk pulang menuju Samarinda. Sementara tujuh ABK lainnya, menjadi tawanan Abu Sayyaf.

Menurut keterangan yang disampaikan Jackried Kanselir Maluengseng, keluarga dari Edgar Lahiwu, satu dari enam ABK yang telah dibebaskan, kelompok Abu Sayyaf menuntut uang tebusan Rp20 juta ringgit atau sekira Rp59 miliar untuk pembebasan tujuh WNI ini. Mereka meminta uang tebusan dalam bentuk ringgit, lantaran Peso Filipina dianggap rendah nilainya.

Beraksi lagi, Abu Sayyaf ketagihan tebusan?

Sejauh ini memang berbagai pihak utamanya pemerintah RI menyebut jika pembebasan 14 WNI dalam penculikan pertama dan kedua murni diplomasi, dan tanpa uang tebusan. Namun, sebagian pihak lainnya juga menyampaikan, apabila pembebasan tersebut tak terlepas dari uang tebusan yang dibayarkan untuk membebaskan para sandera.

Setidaknya, hal itu pernah disampaikan Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Republik Indonesia (RI). Di sebuah acara di Cikini, Jakarta, Mega sempat berseloroh, kalau para sandera dilepas karena uang tebusan. "Jelas saja sandera dilepas, wong dibayar kok," kata Megawati, 2 Mei 2016 lalu.

Pernyataan soal tebusan yang dibayarkan untuk membebaskan para sandera WNI dari Abu Sayyaf juga sempat disampaikan Kepala Polisi Provinsi Ulu, Inspektur Wilfredo Cayat. Seperti dikutip Philipphine Daily Inquirer, pembebasan sandera pertama, kru kapal Brahma dibebaskan berkat adanya uang tebusan yang dibayarkan pada 29 April 2016 lalu.

Uang tebusan, kata Cayat, dibayar pada Jumat 29 April 2016 oleh Patria Maritime Lines, perusahaan para pelaut tersebut bekerja. Tebusan yang dibayar sebesar US$1 juta atau setara Rp13,1 miliar (kurs Rp13.197). Namun, sumber lain menyatakan bahwa uang tebusan yang dibayar untuk membebaskan para sandera sejumlah Rp5,4 miliar.

Sementara itu, Wali Kota Jolo Filipina, Hussin Amin, mengatakan, meski menyambut pelepasan sandera Indonesia, namun dirinya tak sepakat dengan langkah pembayaran tebusan yang dilakukan untuk menebus para sandera.

Kata dia, dengan begitu, ke depan akan ada potensi besar kembali yang bisa saja dilakukan kelompok Abu Sayyaf serta kelompok bandit lainnya  di kemudian hari. "Jika pembebasan besar ini datang dengan imbalan uang, mereka yang membayar mendukung Abu Sayyaf," katanya. "Uang ini akan digunakan untuk membeli lebih banyak senjata api dan akan digunakan sebagai dana mobilisasi oleh para penjahat," kata dia seperti dilansir Wall Street Journal.

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said kepada tvOne. Kata dia, apabila benar pemerintah mengambil langkah pembayaran tebusan, seperti yang sempat santer disuarakan, tentu tak akan menjadi pembelajaran besar buat Indonesia.

"Sebab, Abu Sayyaf pasti akan melakukan hal yang sama lagi ke depan. Ini kan jelas pemerasan. Tetapi, memang satu jalan yang risikonya paling kecil, ya membayar tebusan, meski menawar jumlah tebusannya," kata Salim sebelum aksi penculikan kembali lagi dilakukan Abu Sayyaf terhadap tujuh WNI.

Selanjutnya>>> Alasan pemerintah Abu Sayyaf beraksi lagi...

Pemerintah: Perjanjian tiga negara belum optimal

Sebagai bentuk antisipasi mencegah tak terulangnya kembali aksi serupa, pemerintah diketahui telah melakukan sejumlah cara jauh-jauh hari. Di antaranya, melakukan pertemuan antara tiga negara, Indonesia, Filipina, dan Malaysia di Yogyakarta, pada 5 Mei 2016 lalu, terkait patroli bersama di laut.

Namun, hal ini rupanya dianggap belum optimal dilakukan secara bersama-sama. Menurut Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo, kesepakatan antara Panglima TNI dan Menteri Luar Negeri ketiga negara di Yogyakarta beberapa bulan lalu agar melakukan patroli bersama untuk menjaga kawasan itu, ternyata tidak bisa terlaksana.

Hal tersebut, lantaran sejauh ini kesepakatan itu baru sebatas nota kesepahaman saja. "Baru MoU (nota kesepahaman) saja, tetapi Kementerian Pertahanan kemarin sudah ke Filipina untuk menindak lanjuti ini. Kemudian sedang diproses, nanti SOP-nya baru," kata Gatot di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2016.

Sebenarnya, Indonesia dikatakan sudah siap untuk menggelar operasi bersama di perairan itu. Hanya saja, terganjal Filipina yang masih menggelar pemilihan umum. Sejauh ini, sudah ada moratorium oleh Menteri Perhubungan Indonesia bahwa kapal-kapal tidak boleh melintasi perairan Filipina Selatan. Namun dengan peristiwa ini, Gatot mempertanyakan ada kapal yang berlayar.

Terlepas dari itu, menurutnya, operasi bersama memang sangat penting. “Operasi bersama ini diperlukan karena itu adalah jalur ekonomi. Itu jalur ekonomi. Kemudian 96 persen listrik di Manila itu, 96 persen batubaranya dari Indonesia," kata Panglima.

Komunikasi dengan Filipina sendiri hingga kini masih terus intensif dilakukan. Bahkan dirinya juga berjanji akan segera menindak lanjutinya. "TNI siap membantu," kata Gatot.

Senada dengan Panglima TNI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan menyebut, salah satu penyebab penyanderaan kembali terjadi lantaran patroli bersama di laut belum dilaksanakan optimal oleh semua pihak.

Luhut menganggap, hal itu menjadi penyebab tujuh WNI ABK Charles 001 yang tengah berlayar di Filipina kembali menjadi korban penyanderaan kelompok bersenjata Abu Sayyaf pekan lalu.

"Ada yang belum jalan (dari kesepakatan trilateral). Sudah disebutkan pula oleh Panglima TNI, memang belum semua pihak melaksanakan itu," ujar Luhut usai acara peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Minggu, 26 Juni 2016.

Poin kesepakatan utama dari pertemuan trilateral adalah patroli bersama ketiga negara di wilayah perairan untuk mencegah kejahatan transnasional, termasuk aksi pembajakan kapal. Kesepakatan lainnya adalah, peningkatan koordinasi pemberian bantuan cepat bagi warga dan kapal yang sedang berada dalam keadaan bahaya, peningkatan kerja sama pertukaran informasi intelijen antara ketiga negara, serta pembentukan saluran hotline untuk koordinasi saat terjadi ancaman keamanan dan keadaan darurat.

Terkait terjadinya kembali peristiwa penyanderaan, Luhut mengatakan pusat krisis yang dibentuk kementeriannya telah mulai bekerja. Kata Luhut, selambat-lambatnya pada Selasa, 28 Juni 2016, pemerintah sudah memiliki opsi permulaan terkait langkah yang akan ditempuh. "Kita sekarang masih mempelajari (kasus penyanderaan)," ujar Luhut.

Selanjutnya>>> BIN lacak lokasi penyanderaan...

BIN pantau lokasi penyanderaan

Pemerintah rupanya menyatakan tak mau diam berpangku tangan terkait sandera baru WNI yang ditawan kembali kelompok bersenjata Abu Sayyaf. Meski upaya komunikasi dengan pemerintah Filipina telah dilakukan, pemerintah melalui Badan Intelijen Negara (BIN) hingga kini terus melacak keberadaan tujuh ABK Charles 001.

Kepala BIN Sutiyoso menegaskan, langkah pertama yang dilakukan pihaknya yaitu, menetapkan di mana lokasi tujuh awak kapal disandera dan mencari cara untuk melakukan penyelamatan. "Hasil rapat koordinasi, memang penyanderaan itu ada dan diperintahkan untuk melakukan langkah-langkah yang paling baik untuk menyelamatkan mereka," kata Sutiyoso di Bandung, Jawa Barat, Jumat, 24 Juni 2016.

Saat ini, BIN dan sejumlah pihak berwenang dikatakannya juga sedang melakukan pelacakan nomor telepon para korban. "Kami terus cari lokasi yang menyandera mereka. Pelacakan sudah kami lakukan, tapi enggak bisa ngomong banyak soal ini," kata Sutiyoso.

Seperti diketahui, tujuh awak kapal dilaporkan disandera pada Senin, 20 Juni 2016. Penyanderaan dilakukan dalam dua kali tahapan. "Pertama diambil tiga orang, kemudian empat orang, jadi tujuh orang," kata Sutiyoso.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nassir, menyatakan hingga kini Menlu Retno Marsudi sudah melakukan pembicaraan dengan Menlu Filipina soal penyanderaan ABK WNI yang kembali terjadi.
Arrmanatha memastikan komunikasi yang terjalin antara Menlu Retno dengan Menlu Filipina selama ini berjalan dengan sangat baik. Filipina sendiri mengaku siap bekerja sama dengan kita dalam upaya bantu membebaskan WNI.

Soal join patroli antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Arrmanatha menjelaskan bahwa kesepakatan joint patroli di wilayah perairan Filipina Selatan antara negara Indonesia, Malaysia dan Filipina, saat ini masih dalam proses perumusan SOP. "Sampai sekarang masih merumuskan SOP, belum selesai pembahasannya," katanya saat ditemui di Gedung Kemlu, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2016.

Ditegaskan, upaya Indonesia dengan Filipina selama ini unuk menjaga keamanan wilayah perairan terus dilakukan dengan harapan tidak akan terulangnya lagi kasus penyanderaan. Komunikasi dengan Filipina, ujar Arrmanatha, akan terus diintensifkan terkait dengan kasus penyanderaan tujuh ABK WNI di perairan Filipina Selatan saat ini.

"Kami akan dorong kesepakatan SOP agar cepat diselesaikan sehingga langkah-langkah yang disepakati tiga negara bisa secepatnya dijalankan. Sejauh ini prosesnya masih berjalan baik," kata dia.

Namun, terkait dengan jumlah tebusan yang diminta pelaku, Arrmanatha mengatakan dirinya belum mendapat detail resmi dari perusahaan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya