Ketika Anomali Cuaca Terjadi Lagi

Ilustrasi Prakiraan Cuaca.
Sumber :
  • Antara/ Adnan

VIVA.co.id – Kondisi cuaca di Bumi Nusantara kembali mengalami penyimpangan dari kondisi normal. Penyimpangan, atau anomali tersebut mengakibatkan perubahan pola hujan dan musim yang terjadi di Indonesia.

SubhanAllah, Viral Warga Sholat Istisqa : Langsung Dikabulkan Hujan

Dalam kondisi normal, pola musim di Tanah Air, yaitu Mei sampai September masuk musim kering, atau kemarau dan Oktober sampai Maret, atau April merupakan musim hujan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, pola tersebut berubah tak tentu. Saat periode musim kemarau, malah turun hujan beberapa kali. Sebaliknya, saat periode musim hujan, malah datang kemarau berkepanjangan.

Bali Dilanda Cuaca Ekstrem, Wilayah yang Tak Diguyur Hujan Diprediksi Meluas

Fenomena ini bisa dirasakan pada saat ini, yang masuk pertengahan Juli. Jika merujuk pada periode normal, di wilayah Indonesia pada Juli masuk musim kemarau, tetapi hujan terjadi di beberapa titik di Indonesia.

Menurut prakiraan cuaca Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pada Senin 25 Juli 2016, hanya Makassar, Denpasar, dan Bandung yang berawan, serta Kupang yang dalam kondisi cerah. Selebihnya, wilayah Indonesia mengalami hujan ringan sampai sedang.

BMKG Prediksi Indonesia Diguyur Hujan November 2023, Bisa Berpotensi Banjir

Fakta itu, juga sesuai dengan temuan dari BMKG. Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca BMKG, Kukuh Ribudiyanto mengungkapkan data terakhir dari institusinya menunjukkan, saat ini wilayah Indonesia yang mengalami kering, yakni sekitar 43 persen, sisanya 57 persen wilayah Indonesia dalam kondisi basah. Artinya, dengan proporsi itu, Indonesia saat ini didominasi musim hujan. Anomali saat musim kemarau.

Kukuh mengatakan, saat ini ada beberapa wilayah di Indonesia yang berpotensi mulai kering, yakni di wilayah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Selanjutnya, penyebab anomali...

Penyebab anomali

Terkait penyebab munculnya anomali itu, Kukuh membeberkan beberapa kemungkinan penyebabnya. Pertama, ada kemungkinan karena fenomena La Nina, atau El Nino. Tetapi, kemungkinan dampak fenomena itu masuk kategori lemah, karena dampaknya tidak merata di wilayah Indonesia.

El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar ekuator, khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru).

Lalu, kemungkinan kedua, adalah perbedaan suhu permukaan laut di Samudera Hindia sebelah barat Indonesia, dengan suhu permukaan laut di Samudera Hindia sebelah timur Afrika.

Kukuh mengatakan, area Samudera Hindia sebelah barat ini lebih hangat, indeksnya negatif. Artinya, kata Kukuh, ada pasokan air dari Samudera Hindia sebelah barat menuju ke timur Indonesia bagian barat.

"Pasokan air dari Samudera Hindia itu memang benar (terjadi). Kalau La Nina lemah, ya belum ada bukti," jelas Kukuh dalam sambungan telepon kepada VIVA.co.id.

Kukuh mengatakan, penyebab ketiga, yaitu muson timur, atau muson Australia yang membawa uap kering. Muson merupakan angin musiman yang bersifat periodik dan biasanya terjadi, terutama di Samudera Hindia dan sebelah selatan Asia. Tapi periode ini, kata Kukuh, dalam kondisi lemah, sehingga tidak menjadikan wilayah Indonesia kering.

Selain tiga kemungkinan penyebab anomali tersebut, Kukuh mengatakan, ada hal penting lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu suhu muka laut wilayah Indonesia yang selalu hangat. Kondisi yang hangat itu, karenanya proses penguapan mudah terjadi dan akhirnya awan-awan hujan mudah terbentuk.

"Anomali suhu bisa antara 1-2 derajat dari kondisi normal. Itu sebabkan banyak hujan," kata dia.

Kukuh mengatakan kondisi anomali musim sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dalam catatan BMKG, tiga tahun terakhir telah terjadi anomali. Pada 2015, terjadi anomali curah hujan yang menurun, dampaknya terjadi kemarau panjang dan munculnya kasus kebakaran hutan di berbagai wilayah. Tahun lalu, kata Kukuh, anomali terjadi karena munculnya El Nino.

Sementara itu, pada tahun ini, BMKG memperkirakan sebaliknya, akan banyak hujan, atau La Nina.

Kukuh mengatakan, kondisi anomali yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini mirip dengan kondisi pada 1997-1998. Salah satu kemiripannya, yakni adanya daerah yang tidak memiliki kemarau, meski areanya tak relatif luas.

Wilayah itu disebut sebagai area putih, wilayah yang susah diprediksi cuacanya. Misalnya Bogor, pantai barat di Pulau Sumatera, di area tersebut setiap tahun kondisinya hujan.

"Itu wilayah yang musim zonanya banyak alami anomali. Itu terkait kondisi geografis ya," jelasnya.

Selanjutnya, dampak nyata perubahan iklim...

Dampak nyata perubahan iklim

BMKG memperkirakan, awal musim hujan di Indonesia akan masuk mulai Agustus, namun hal itu masih dievaluasi dan dipelajari lebih dalam.

Meski terjadi anomali, dengan mempertimbangkan pola anomali yang terjadi, maka tahun selanjutnya kemungkinan musim di Indonesia bisa kembali normal.

"Secara klimatologi, setelah kering (2015), kemudian basah (2016) selanjutnya normal," tuturnya.

Kukuh juga mengatakan pengaruh perubahan iklim bisa menyebabkan anomali musim dalam beberapa tahun terakhir.

Sebab, faktanya, saat ini makin tahun makin terjadi perubahan iklim signifikan di dunia. Hal itu, jelas Kukuh, bisa dilihat dari berkurangnya pepohonan dan hutan akibat perluasan pemukiman, mencairnya es di kutub Bumi, naiknya efek rumah kaca.

Pendapat Kukuh itu, diamini oleh Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. Menurutnya, selama musim kemarau terjadi hujan secara risiko, maka akan menimbulkan kemungkinan banyak potensi banjir dan longsor.

Kondisi hujan pada periode kemarau itu mengakibatkan bencana di beberapa daerah, menyebutkan beberapa wilayah yang dilanda banjir saat periode kemarau, yaitu Pandeglang, Serang, Jakarta, Halmahera Utara dan Wonosobo.

Sedangkan di sisi lain, fenomena anomali itu jelas menunjukkan perubahan global.

"Dampak perubahan iklim global sudah nyata terhadap berubahnya pola hujan di Indonesia," kata Sutopo dalam pesan tertulis kepada VIVA.co.id.

Bicara dampak dari anomali musim terhadap bencana, Sutopo mengakui, adanya korelasi positif antara dua hal tersebut.

Dia menunjukkan, fakta bencana pada tahun lalu yang mana saat itu El Nino melanda Indonesia. Kondisi kemarau panjang itu menimbulkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pada 2015.

"Karhutla hebat melanda Indonesia yang menyebabkan kerugian ekonomi Rp221 triliun," jelas dia.

Untuk tahun ini, BNPB sudah mengantisipasi dampak La Nina yang menguat. Jajaran BNPB dari pusat hingga daerah sudah ancang-ancang risiko bencana akibat kemungkinan La Nina.

"BNPB dan BPBD melakukan langkah-langkah antisipasi, antara lain Rakor antisipasi banjir longsor, pelatihan, sosialisasi, penguatan tim reaksi cepat, pemberian bantuan logistik peralatan kepada BPBD, latihan, dan lainnya," ujar Sutopo. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya