Residivis Terorisme Kembali Berulah, Deradikalisasi Gagal?

Ilustrasi tim gegana amankan benda diduga bahan peledak bom di lokasi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Amirulloh

VIVA.co.id - Hari itu, pagi jelang siang pada Minggu, 13 November 2016, sekitar pukul 10.00 WIB, Juhanda alias Jo, mengendarai sepeda motornya. Saat sampai di depan Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur, ia melempar sebuah bungkusan ke arah depan pintu.

Negara di Dunia Diminta Desak China Hentikan Deradikalisasi Uighur

Ketika itu, para jemaah sedang beribadah di dalam gereja. sementara di depan bangunan suci umat nasrani itu sejumlah anak-anak tampak tengah bermain.

Beberapa detik setelah bungkusan yang ternyata berisi bom molotov itu dilempar, ledakan pun terjadi. Anak-anak tak berdosa itu menjadi korban.

Dua Serangan Teroris Beruntun, DPR Soroti Program Deradikalisasi

Setidaknya ada empat anak-anak terluka dan dilarikan ke rumah sakit setempat. Selain mereka, empat motor yang sedang terparkir juga rusak karena terbakar.

Sehari setelah kejadian, satu korban yang masih balita, Intan Olivia Marbun, meninggal dunia. Dia sempat mendapatkan perawatan intensif di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie, Samarinda, karena luka bakar meliputi 80 persen dari tubuhnya.

Adik Trio Bomber Bali Kini Lawan Terorisme, Berat Tugasnya

Sedangkan, tiga korban lainnya, Triniti Hutahaen, Anita Christabel, dan Alfarou Sinaga, masih menjalani perawatan di rumah sakit tersebut.

Siapa Juhanda alias Jo?

Berdasarkan keterangan dari kepolisian, Juhanda merupakan residivis kasus terorisme tahun 2011 di Jakarta. Ia ditangkap usai melakukan teror di depan geraja tersebut.

Ia tercatat pernah mendekam di penjara selama 3,5 tahun karena menjadi pelaku bom buku di Puspitek Serpong, Tangerang. Pelariannya ke Samarinda rupanya membuat Juhanda mengembangkan jaringan.

"Di Kalimantan Timur, J tergabung dengan kelompok JAT (Jamaah Ansharut Tauhid)," kata Kapolres Samarinda, Kombes Pol Setyobudi Dwiputro.

[]

Jamaah Ansharut Tauhid diketahui merupakan pecahan dari Jemaah Islamiyah (JI) yang dikenal sebagai kelompok pro terorisme dan pendukung ISIS di Suriah. Kelompok itu dibentuk tahun 2008 di Solo Surakarta Jawa Tengah oleh Abu Bakar Baasyir. Organisasi ini disebut tersebar di sejumlah wilayah Indonesia termasuk yang paling masif ada di Aceh dan Sulawesi Tengah.

Sejak pendirian JAT, beberapa kali kejadian ledakan bom terjadi. Terakhir pada tahun 2012, ketika polisi menembak mati lima anggota kelompok JAT di Bali pada Minggu, 18 Maret 2012.

Lima anggota teroris itu diduga berkaitan dengan aksi perampokan di Bank CIMB Medan dan munculnya informasi untuk melakukan peledakan bom ketika hari raya Nyepi di Bali.

Sejak itu, pada tahun yang sama kelompok JAT yang diduga memiliki anggota hingga 2.000 orang itu akhirnya resmi dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat dan PBB.

Hingga kemudian memasuki tahun 2014, kelompok JAT kemudian diduga pecah. Sebagian anggotanya memilih menolak  berbaiat dengan ISIS. Atas itu kemudian dibentuklah Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) di Bekasi Jawa Barat.

Selain rekam jejak 'mentereng' sebagai teroris, lebih miris, Juhanda ternyata adalah seorang penjaga masjid di Samarinda. Motivasinya menyerang Gereja Oikumene disebut karena ingin menyakiti orang saja. Polisi pun akhirnya menetapkannya sebagai tersangka.

[]

Kenyataan  Juhanda adalah residivis kasus terorisme, membuat Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyoroti soal deradikalisme. Tito menilai salah satu program andalan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme  dan juga institusinya itu kurang maksimal. "Saya kira program deradikalisasi perlu dievaluasi," kata Tito.

Padahal, setelah menjalani deradikalisasi, Juhanda seharusnya lebih lunak, misalnya tidak membenci pemeluk agama lain dan lebih menghargai keragaman. Namun, ternyata, ia masih memiliki niat menimbulkan kekacauan di Indonesia.

Pernyataan Tito diamini sejumlah anggota DPR. Misalnya saja Anggota Komisi III DPR yang juga politikus Partai Gerindra Wenny Warou.

Dia mempertanyakan efektivitas program deradikalisasi dari BNPT. Menurutnya, keberadaan residivis di masyarakat seperti dianggap remeh.

"Itu namanya deradikalisasi nggak jalan mantep. Aparat kecolongan oleh residivis teror. Pembinaan kurang. Pengawasan pada waktu sudah di masyarakat sering diabaikan," ujar Wenny saat dihubungi VIVA.co.id, Senin 14 November 2016.

Wenny mengakui pelaksanaan program deradikalisasi memang bukan hal yang mudah, terutama jika anggarannya kurang. Namun menurutnya, BNPT juga harus aktif di lapangan.

"Ya itu BNPT harus turun ke lapangan. Jangan di kantor saja. Petakan wilayah RI dari ancaman terorisme," kata Wenny.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaidi Mahesa, juga mempertanyakan kinerja BNPT dalam pengawasan terhadap mantan pelaku kejahatan terorisme.

"Itu kan dalam pengawasan BNPT. Kalau ada yang melakukan bom lagi, berarti kan pengawasan itu gagal," kata Desmond.

Tak berbeda, anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi menegaskan seorang narapidana terkait kasus terorisme seharusnya mendapat pembinaan selama masa hukumannya, termasuk Juhanda.

"Bahwa tersangka pelaku teror adalah resedivis yang pernah dibina selama tiga tahun enam bulan. Tentunya selama proses tersebut BNPT juga telah melakukan berbagai treatment deradikalisasi," kata Aboe Bakar ketika dihubungi, Senin, 14 November 2016.

Namun, lanjut politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa si pelaku masih mengulangi perbuatannya.

"Tentunya akhirnya kita mempertanyakan efektivitas dari pola deradikalisasi yang selama ini dijalankan. Barangkali perlu dilakukan evaluasi terhadap program deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT," ujar dia.

Kemudian, dia juga menyoroti kaos hitam bertuliskan 'Jihad Way of Life' yang dipakai si pelaku. Menurut Aboe Bakar, pemakaian atribut itu terlalu mencolok.

"Karena pelaku teror pada umumnya tidak menggunakan atribut yang mencolok agar tidak dicurigai dan tidak mudah untuk diidentifikasi. Saya tidak paham apa motivasinya, bisa jadi ini sebagai bagian dari provokasi dan framming terhadap Islam," kata dia.

Deradikalisasi Gagal?

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, turut menyoroti tidak maksimalnya deradikalisasi yang dijalankan BNPT dan Polri. Namun demikian, dia menilai proses itu tetap harus dilakukan.

"Bahwa program ini tidak 100 persen berhasil kenyataannya yang terjadi di Samarinda kemarin. Tapi banyak juga yang berhasil bahkan para pelaku-pelaku utama sebelumnya yang dianggap sebagai guru itu akhirnya mereka ikut dalam program deradikalisasi dan mereka membawa pengaruh yang positif bagi umatnya," kata Pramono di Istana Negara, Senin, 14 November 2016.

Oleh karena itu, Pramono menegaskan program deradikialisasi tetap harus dilakukan dan kebijakan itu merupakan pekerjaan BNPT. Kemudian kedua, penegakan hukum juga sangat penting.

"Kenyataannya dia masih melakukan dan untuk itu harus ada langkah tegas, terhadap yang bersangkutan. Karena memang kalau dilihat apa pola cara dan secara terbuka apalagi ini dalam waktu orang yang bisa melihat dia secara terang benderang. Ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan melakukan dengan penuh kesadaran," tutur Pramono.

BNPT sendiri membantah dengan tegas bahwa program deradikalisasi yang mereka adakan tidak efektif atau gagal. Bahkan sebaliknya, mereka sejauh ini cukup berhasil.

"Deradikalisasi sukses dan berjalan lancar. Oknum yang beraksi di Samarinda bukan binaan deradikalisasi (BNPT)," kata Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, kepada VIVA.co.id.

Sementara itu, Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius menolak memberi keterangan lebih jauh mengenai program deradikalisasi yang disebut-sebut akan dievaluasi. Mantan Kabareskrim itu terlihat di kantor Menkopolhukam, Jakarta, pada Senin, 14 November 2016, sekitar waktu maghrib.

"Saya akan rapat jam tujuh. Soal deradikalisasi akan dijelaskan Deputi I BNPT," kata Suhardi yang tampak terburu-buru menuju mobilnya.

Dalam kesempatan itu, Suhardi mengikuti pertemuan dengan Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Kementerian Dalam negeri. Namun, saat dimintai keterangan terkait agenda pertemuan, tak ada yang bersedia memberikan jawaban.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya