Mengikis Dominasi Dolar AS

Mata uang dolar AS dan rupiah.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo menyoroti secara serius pelemahan nilai tukar rupiah yang terus terjadi terhadap dolar Amerika Serikat. Sebab, hal itu membuat seakan-akan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, terus terpuruk di tengah gejolak ekonomi global sekarang ini. 

Erick Imbau BUMN Beli Dolar AS Besar-besaran, Menko Perekonomian hingga Wamenkeu Bilang Gini 

Di depan para pakar ekonomi dalam acara Sarasehan 100 Ekonomi Indonesia di Jakarta hari ini, Selasa 6 Desember 2016, Jokowi menegaskan, nilai tukar rupiah lebih stabil dibanding mata uang negara lain terhadap dolar AS.

Bahkan, kini, mata uang negeri Paman Sam tersebut dinilai sudah tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. 

Rupiah Sentuh Rp 16.200 per Dolar AS, Begini Prediksi Terbaru Astronacci

Alasanya, kini, kerja sama Indonesia dengan AS tidak signifikan. Ekspor Indonesia ke AS, hanya sekitar 10-11 persen dari total kinerja ekspor ke seluruh penjuru dunia. 

"Jadi, jangan sampai angka 10-11 persen ini, menjadi mendominasi persepsi ekonomi, karena dolar AS dan rupiah tadi. Kalau ukur ekonomi Indonesia pakai dolar AS, nantinya, ya kita akan kelihatan jelek," kata Jokowi.

Rupiah Terperosok ke Rp 16.270 per Dolar AS

Jokowi menegaskan, kurs rupiah seharusnya diukur kepada mata uang yang lebih relevan. Seperti renminbi (Tiongkok), yen (Jepang), pounsterling (Inggris), atau euro (Uni Eropa), dan yuan (Korea Selatan). Sebab, kerja sama dagang Indonesia, kini cenderung mengarah ke negara-negara itu. 

Dia menjabarkan, saat ini, kerja sama dagang antara Tiongkok mencapai 15,5 persen dari total perdagangan internasional Indonesia. Sedangkan dengan Eropa, 11,4 persen dan Jepang 10,7 persen. Untuk itu, akan lebih baik transaksi keuangan yang dilakukan tidak terus dipatok menggunakan dolar AS. 

“Harusnya, kurs yang relevan adalah kurs rupiah melawan mitra dagang terbesar kita. Kalau Tiongkok terbesar, ya harusnya rupiah-renminbi. Kalau Jepang, ya kursnya kurs rupiah-yen. Ini penting untuk edukasi publik, untuk tidak hanya memantau kurs pada dolar AS semata," tegasnya. 

Selain terkait perdagangan, kebijakan proteksionis Presiden AS yang baru Donald Trump akan semakin membuat rupiah terpuruk. Apalagi, AS juga akan menerapkan kebijakan Amerika First, alias mementingkan perekonomian sendiri dalam melakukan kerja sama antarnegara. 

Karena itu, dia mengimbau, seluruh pemangku kepentingan, agar mengikis persepsi ketergantungan rupiah terhadap dolar AS. Sehingga, rupiah dapat menguat sesuai fundamental ekonomi Indonesia.

Terjerat dolar AS

Sementara itu, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan, dirinya sepakat dengan pernyataan Kepala Negara. Bahkan, kata dia, akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia, jika rupiah hanya dibandingkan dengan dolar AS. 

"Ada bahayanya, kalau kita selalu mematok mata uang kita terhadap satu mata uang saja," ujar Fauzi saat ditemui VIVA.co.id di Jakarta, Selasa 6 Desember 2016. 

Ia mengatakan, dolar AS menjadi mata uang yang kuat, karena dijadikan sebagai nilai acuan untuk berbagai komoditas di dunia. Namun, jangan sampai nilai rupiah tukar terhadap dolar dijadikan pernyataan bahwa rupiah melemah. 

"Jika dolar AS itu fluktuasi terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah, kita juga tidak boleh berpikir bahwa mata uang kita yang rentan karena mata uang global lainnya juga bergerak fluktuatif terhadap dolar AS," kata dia. 

Ia menambahkan, tidak lagi dipakainya dolar AS sebagai acuan nilai tukar rupiah, tidak akan memberikan efek yang berarti bagi perekonomian Indonesia. 

"Saya sih tidak terlalu khawatir, karena Indonesia telah mengalami hal-hal yang jauh lebih buruk," ungkapnya. 

Sebab, data ekonomi membuktikan bahwa saat ini, ekonomi Indonesia terus mengalami perbaikan. Hal itu terbukti, dengan kinerja ekspor, neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan RI yang terus membaik. 

"Beda, kalau misalnya defisit neraca transaksi berjalan kita besar, karena kan harus dibiayai oleh modal asing kan. Semakin besar defisitnya, semakin besar kebutuhan modal tersebut," ungkapnya. 

Senada dengan Fauzi, Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede berpendapat, seiring dengan perkembangan ekonomi dunia saat ini, akan bahaya jika mata uang Indonesia tetap tergantung degan satu mata uang. Apalagi, gejolaknya cenderung didominasi oleh sentimen, atau persepsi pasar keuangan, bukan berdasarkan data ekonomi yang riil. 

Karena itu, dia mengapresiasi imbauan Jokowi untuk tidak terlalu panik dengan pelemahan rupiah yang terjadi. Sebab, tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia yang sesungguhnya. 

"Pernyataan pak Jokowi barusan itu, sebenarnya hanya imbauan, agar tidak terlalu panik dengan adanya pelemahan kepada rupiah," ungkapnya kepada VIVA.co.id, Selasa.

Dia mengungkapkan, kunci utama untuk melepaskan rupiah dari bayangan dolar AS adalah menekan impor bahan baku dan mulai memproduksinya di dalam negeri. 

"(Selama ini), yang punya bahan baku impor, enggan melakukan produksi. Ini, tentu akan menurunkan efektivitas perekonomian nasional. Intinya tadi, bagaimana meningkatkan kembali kepecayaan masyarakat," tambahnya. 

Saingan dolar AS

Masuknya mata uang Tiongkok, yuan, atau renminbi ke jajaran special drawing rights (SDR), atau mata uang internasional yang ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF), merupakan angin segar bagi Indonesia. Mata uang negara Tirai Bambu itu dinilai dapat mengikis sensitivitas rupiah terhadap dolar AS.  

"Jika (yuan) bisa menjadi mata uang utama, akan mengurangi ketergantungan Indonesia kepada dolar AS. Mata uang, terutama di negara kawasan bisa relatif stabil," ungkap Jokowi. 

Untuk mewujudkan hal itu, menurutnya, pekerjaan utamanya adalah bagaimana mempopulerkan yuan di kawasan Asia. Minimal dijadikan alat pembayaran utama untuk transaksi perdagangan antar negara kawasan. Dalam hal ini Indonesia memegang peran penting. 

Apalagi, Jokowi telah tegas akan terus berupaya meminimalisir tekanan dolar AS terhadap rupiah di masa depan. "Dan, dia (Tiongkok) juga partner dagang kita," tambahnya. 

Mengenai alternatif mata uang lain untuk transaksi dagang internasional, Bank Indonesia mengaku terus mengkaji beberapa mata uang yang bisa digunakan untuk transaksi perdagangan internasional. 

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung mengatakan, transaksi perdagangan RI di masa depan, sudah seharusnya tidak hanya menggunakan satu mata uang sebagai patokan. Karena itu, saat in,i RI sudah memiliki perjanjian bilateral swap nilai tukar untuk aktivitas perdagangan dengan Tiongkok. 

"Saya tidak tahu seberapa besar, tetapi memang kita punya bilateral, currency aggreement dengan China. Perdagangan bisa menggunakan mata uang masing-masing," ungkapnya di Jakarta.  

Terlepas dari segala upaya tersebut,  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memandang, melepaskan mata uang dolar AS dalam perdagangan bilateral antarnegara bukanlah hal mudah. 

Apalagi, dolar AS masih menjadi referensi utama mata uang setiap negara. "Itu tidak mudah, karena harus ada persiapan khusus antarsatu negara dengan yang lain. Tidak semudah itu," singkatnya Selasa.
 

(asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya