Kontroversi Ganja Jadi Obat

Ilustrasi/Daun ganja
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id – Publik terhenyak mengetahui kabar seorang pria di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Fidelis Ari Sudarwoto, menerapkan terapi ekstrak ganja kepada istrinya, Yeni Riawati. Sang istri terkena penyakit Syringomyelia atau munculnya kista di sumsum tulang belakang. Fidelis yakin ekstrak ganja terbukti bisa mengurangi beban penderitaan sang istri. 

Kepala BNN Sebut Kriminalitas Meningkat di Negara yang Legalkan Ganja

Belakangan, Fidelis ditangkap oleh petugas Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau. Kasus ini menjadi polemik. Setelah Fidelis ditangkap, sang istri yang awalnya mulai membaik setelah diberi ekstrak ganja akhirnya meninggal dunia. 

Ikhtiyar yang dilakukan Fidelis memang sudah terbilang mentok. Sebelum beralih ke terapi ganja, dia sudah membawa sang istrinya ke pengobatan alternatif sampai orang pintar. Semua upayanya itu tak menunjukkan hasil positif, sampai kemudian Fidelis menemukan terapi ganja yang bisa menunjukkan efek manjur bagi istrinya. 

Ditanya Wacana Legalisasi Ganja, Ini Jawaban Kepala BNN

Bicara ganja memang selalu dikaitkan tabu dan larangan. Namun, ganja juga diyakini sebagian kalangan dan dibuktikan sejumlah penelitian memiliki unsur yang bermanfaat bagi kesehatan. 

Dalam ganja memang mengandung deretan senyawa pengobat  peneliti Natural Product and Pharmaceutical Chemistry Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sofna Banjarnahor, mengatakan dalam ganja memang mengandung banyak senyawa aktif. Setidaknya ada 113 lebih senyawa. 

Soal Legalisasi Ganja untuk Kebutuhan Medis, Ini Kata Pengamat

Dilihat dari sifatnya, senyawa pada ganja terbagi menjadi dua yakni senyawa psikoaktif yang terikat pada reseptor di otak dan senyawa non-psikoaktif yang terikat lemah dengan reseptor tersebut. 

Sofna menyatakan, senyawa non-psikoaktif sudah banyak diteliti manfaatnya di bidang kedokteran, yakni sebagai antiradang, antikanker pelemas otot, obat epilepsi dan antinyeri. 

Secara umum, lanjut Sofna, senyawa psikoaktif lebih kelihatan mata, misalnya menjadi mudah tidur, selera makan dan membuat mood yang lebih baik. Sedangkan senyawa non-psikoaktif cenderung pada yang tidak kelihatan mata.

Dia menyebutkan setidaknya dalam literatur telah diyakini enam senyawa bermanfaat yang terkandung di dalam ganja, yaitu

1. THC (tetrahydrocannabinol) 

Senyawa ini bersifat psikoaktif. Senyawa ini sangat larut dalam lemak, sehingga bisa menembus peredaran darah otak (blood brain barrier) dan memacu fungsi otak, yang dapat mengakibatkan perubahan sementara atas fungsi kognitif. Senyawa ini pula yg menimbulkan efek adiksi atau ketergantungan. Senyawa dapat memengaruhi mood hingga menimbulkan euforia/rasa gembira berlebihan, meningkatkan selera makan, dan lainnya. Namun hanya bersifat sementara. 

2. CBD (Cannabidiol); senyawa ini bersifat non-psikoaktif. 

3. CBC (cannabichromene); senyawa ini bersifat non-psikoaktif.

4. CBG (cannabigerol); senyawa ini bersifat non-psikoaktif.

5. CBN (cannabinol); senyawa ini bersifat non-psikoaktif.

6. THCA (tetrahydro cannabinoic acid); senyawa ini bersifat non-psikoaktif. 

Senyawa positif dalam ganja juga dibenarkan oleh peneliti lainnya. Peneliti Puslit Kimia LIPI Muhammad Hanafi, mengatakan, ada beberapa zat yang terkandung di dalam daun ganja. Tumbuhan dengan nama latin Cannabis sativa atau Cannabis indica ini memiliki zat yang bervariasi.

Hanafi mengatakan, senyawa positif yang terkandung dalam ganja disebut polifenol. Senyawa itu berfungsi sebagai antioksidan dan bisa menjadi bahan aktif untuk kesehatan. Sedangkan zat negatifnya bernama Tetrahydrokarbinol atau disebut dengan zat halusinogen.

"Polifenol secara umum berfungsi sebagai antioksidan dalam menangkap atau menetralisir radikal bebas. Bisa juga untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Polifenol, dikenal juga dengan senyawa flavonoid atau isoflavonoid," jelasnya.

Meskipun ada senyawa yang menyehatkan, menanggapi kasus ekstrak ganja yang digunakan Fidelis Ari untuk menyembuhkan sang istri, Hanafi merasa dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. 

"Bisa saja kemungkinan senyawa itu berperan. Tapi itu perlu dibuktikan lagi. Meskipun secara umum, senyawa flavonoid seperti pada teh hijau, juga bisa digunakan untuk obat kanker," katanya.

Soal penelitian ganja di Indonesia memang tergolong ‘senyap’. Sebab hal ini terkait dengan status hukum ganja yang menjadi barang terlarang, meski dalam aturan dimungkinkan untuk kepentingan penelitian. 

Sofna mengakui, penelitian ganja bisa dibilang maju mundur. Mau meneliti tapi dibatasi ketat oleh regulasi. 

"Di Indonesia sendiri, penelitian senyawa apa pun dari tanaman ini belum ada," ujar dia. 

Kondisi sebaliknya terjadi di luar negeri. Sudah banyak penelitian di luar terkait dengan manfaat dan senyawa ganja. Sofna mengatakan, penelitian di luar sudah menggunakan sampel hewan yakni tikus untuk membuktikan manfaat senyawa tersebut. Dan memang terbukti, kata dia, pengujian menunjukkan senyawa non psikoaktif pada ganja punya efek anti kanker, meski menurutnya, belum ada penelitian pada manusia. 

Peneliti perempuan itu mengatakan, dalam skala penelitian sudah banyak negara yang mendalami senyawa dalam ganja, di antaranya Amerika Serikat, Italia, Spanyol sampai India. 

Sementara dari data lembaga riset National Cancer Institute Amerika Serikat, ada dua turunan senyawa ganja yang tersedia secara komersil untuk pengobatan efek samping kemoterapi, yakni senyawa dronabinol dan nabilone. 

Namun anehnya, kata Sofna, badan obat dan makanan Amerika Serikat, Food and Drug Adnimistration tidak menyetujui ganja sebagai obat anti kanker dan penyakit lainnya.  

Sofna mengatakan, penggunaan ganja untuk riset medis di Tanah Air pun tergolong tertutup. Pemerintah sangat mengawasi dan mewanti-wanti bahaya adiksinya. 

Selanjutnya...Ganja Medis

Ganja Medis

Kasus perjuangan Fidelis itu membuat mata publik soal munculnya dorongan wacana pemanfaatan ganja untuk medis alias pengobatan. 

Pro kontra mewarnai wacana tersebut. Sumbernya jelas, ganja terlarang di Tanah Air, tak seperti di luar negeri. 

Di mata Softa, sebagai peneliti meski mengakui ada senyawa pengobat di dalam ganja, dia tegas ganja medis tidak tepat diterapkan di Indonesia. 

Terlepas dari manfaatnya untuk bidang kedokteran, Sofna menekankan, agar tidak sembarangan mengolah atau memanfaatkan ganja, sebab terkait dengan status hukumnya.

Alasan dia tak sepakat dengan wacana ganja untuk pengobatan atau medis yaitu potensi penyalahgunaan peruntukannya. 

"Penyalahgunaan. Akan dijadikan pembenaran untuk semua," ujarnya. 

Pandangan berbeda muncul dari kalapangan masyarakat sipil yang fokus untuk edukasi manfaat ganja, Lingkar Ganja Nusantara (LGN). 

Divisi Hukum LGN, Singgih Tomi Gumilang mengatakan, seharusnya negara buka mata dan sadar diri dengan manfaat ganja yang sudah terbukti sejak zaman dahulu sampai sekarang. 

Dia mengatakan, ganja bahkan telah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat nusantara. Ganja menjadi bahan dalam pengobatan kuno. Singgih mengatakan, pengobatan kuno dengan ganja ditemukan dalam literatur kuno, misalnya tergambarkan dalam kitab kuno di Aceh, Tajjul Muluk. 

Pria yang berlatar belakang advokat itu mengatakan, ganja bermanfaat untuk pengobatan, berkat senyawa cannabidiol atau CBD. Dia mengatakan, kanker pada dasarnya adalah penyakit terkait dengan cannabidiol, makanya obat kanker sepanjang yang dia tahu hanya ada di ganja. Bahkan menurutnya, semua penyakit obatnya adalah ganja, termasuk penyakit mematikan HIV/AIDS. 

Singgih mengatakan, soal riset ganja, di Indonesia sebenarnya bukan tanpa upaya. LGN yang tergabung dalam Yayasan Sativa Nusantara, telah mengupayakan riset ganja sebagai jalan untuk mengedukasi publik dan pintu untuk membuka pemanfaatan ganja. 

Pria asal Surabaya itu mengatakan, LGN yang tergabung dalam Yayasan Sativa Nusantara pada tahun lalu sudah bersepakat riset ganja bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. 

"Saat itu Yayasan Sativa ini ingin meriset ganja untuk pengobatan diabetes. Tapi ini dikebiri, sampai saat ini belum menjalankan risetnya," kata dia.

Pemilihan riset untuk obat diabetes ini berangkat dari keprihatinan banyaknya kasus penyakit tersebut. Diabetes termasuk penyakit nomor lima paling mematikan di Indonesia. 

Riset bersama ini, Yayasan Sativa Nusantara dan Balitbang Kemenkes punya keinginan agar Indonesia memiliki paten dan obat khusus diabetes yang berbeda dengan luar negeri. 

Sayangnya, proses itu jalan di tempat ini terjadi lantaran Badan Narkotika Nasional. Menurutnya, riset bersama Balitbang itu menunggu barang ganja dari BNN, sementara badan khusus narkotika ini belum satu visi dalam hal ini. Bahkan Yayasan Sativa Nusantara dan BNN sampai dimediasi oleh Kantor Staf Kepresidenan. Namun nyatanya hingga kini, riset tersebut belum berjalan. 

Sofna berpendapat, mengingat masih tersandera oleh status hukum, sebaiknya masyarakat bisa beralih dari ganja. Menurutnya, banyak potensi dan tanaman lain di dalam negeri yang bisa diteliti untuk menggantikan ganja untuk kepentingan pengobatan. 

"Banyak sekali. Benalu teh, sarang semut sampai temu lawak," kata Sofna menyebutkan. 

Menanggapi ide mengganti ganja dengan tanaman lain, Singgih tak yakin ada tanaman pengganti yang sebaik ganja. 

Dia mengatakan, jika memang ada tanaman lain yang mengandung senyawa cannabidiol maka bolehlah bicara soal pengganti. Namun jika memang sejauh ini belum ada tanaman yang punya senyawa tersebut, ide penggantian ganja hanyalah omong kosong belaka. 

Selanjutnya...Konspirasi Global

Konspirasi Global

Singgih menuturkan, sengkarut ganja dengan label ilegal ini tak lepas dari skenario global untuk menguasai dan menghegemoni ganja di dunia. 

Dia tak ragu menyebutkan ide menjaga ganja sebagai barang haram adalah nafsu dari negara besar dunia untuk memonopoli ganja untuk nilai ekonomi. 

Praktik monopoli itu didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengeluarkan Konvensi Tunggal tentang Narkotik 1961. Pelarangan ilegal didukung oleh negara pemegang hak veto PBB, yaitu AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Tiongkok. 

"Lima negara itu menggalang gagasan bahwa ganja itu tak ada manfaatnya untuk medis dan industri," ujar Singgih. 

Lucunya, ujarnya, lima negara itu sampai saat ini hisapan perputaran uang dari ganja. AS misalnya, menyandang sebagai negara importir terbesar Hemp atau ganja industri; Inggris malah memiliki hak paten Satisfac, obat yang terbuat dari ganja. Inggris juga memiliki industri Hempcret, batu bata yang terbuat dari batang ganja. 

Hempcret ini sangat berguna bagi negara di Eropa. Sebab batu bata ini 'ajaib' bisa menyesuaikan suku sekitar. Berperan sebagai pengganti tembok, saat luar rumah suhunya panas, maka Hempcret akan bekerja untuk membuat dingin di dalam rumah. Sebaliknya saat suhu di luar dingin, maka 'batu bata' itu akan menghangatkan dalam rumah. 

Selanjutnya, Prancis juga menikmati status ilegal ganja di belahan dunia. Negeri Mode ini merupakan importir nomor tujuh untuk Hemp.

Sementara dua negara lainnya, Rusia dan Tiongkok berperan sebagai eksportir ganja. Singgih mengatakan, Tiongkok merupakan eksportir nomor wahid Hemp. Selain mengekspor, negeri ini juga mempunyai lebih dari 200 obat merek yang punya paten ganja. 

"Sementara Rusia adalah eksportir Hemp nomor delapan dunia," ujarnya. 

Selanjutnya...Keluar dari Belenggu

Keluar dari belenggu

Mengingat hal di atas, Singgih berpandangan sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah berani keluar dari Konvensi PBB tahun 1961 yang melarang ganja. Konvenan ini menjadi embrio lahirnya aturan tentang narkotika sampai lahirnya UU NOmor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dengan keluar dari konvenan tersebut, maka Indonesia tidak terbelenggu dan terikat dengan aturan yang mengilegalkan ganja, padahal terbukti tanaman itu banyak manfaatnya untuk kesehatan. 

Menurutnya, dengan keluar dari konvenan itu, maka Indonesia akan berdaulat dalam mengatur ganja dan narkotika secara mandiri, disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia. 

Dia sepakat, semangat keluar dari belenggu global itu bukan untuk melegalisasi ganja tapi mengaturnya sehingga manfaatnya bisa dirasakan masyarakat.

"Maka dari itu, kini kita pakai bahasa regulasi. Karena regulasi berbeda konteks sama legalisasi," kata dia. 

Sebagai gambaran, regulasi yang bisa diterapkan di Tanah Air untuk penerapan ganja yakni harus dipakai oleh warga negara usia 23 tahun ke atas. Pertimbangan pemilihan batas umur itu adalah tingkat kedewasaan dan kematangan berpikir dan bersikap. 

Singgih setuju, pemakaian ganja harus untuk hal yang bermanfaat bukan untuk kepentingan euforia yang merugikan masyarakat. Dia mengharapkan nantinya regulasi pemakaian ganja lebih untuk kebutuhan medis atau pengobatan. 

"Intinya kita regulasi untuk mereka yang sakit. Bagi mereka yang sakit kan butuh obatnya sekarang bukan nanti," kata dia. 

Pengaturan ini sekaligus sebagai jawaban bagi pihak yang khawatir pemakaian ganja akan menimbulkan celah besar penyalahgunaan. 

Dalam hal ini, penegakan hukum dan pengawasan ketat menjadi syarat makin terlihat manfaat nyatanya. 

Pemakaian ganja, ujarnya, juga tak bisa sembarangan. Dia menggambarkan, setidaknya untuk mendapatkan ganja harus melalui resep dokter khusus ganja. 

"Mereka diberi resep untuk pengobatan ganja yang dapat dibeli di apotek ganja yang berlisensi," tutur Singgih. 

Jika regulasi dan roda penggunaan itu bergulir, negara bisa mendapatkan pemasukan maupun peluang dari hal ini. Negara bisa mengatur penjualan ganja sebagai pemasukan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

"Kalau pemerintah sayang rakyat Indonesia ya harus berani keluar dari konvensi itu," kata dia. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya