Tuduhan Salah Alamat Trump ke Indonesia

Presiden AS Donald John Trump.
Sumber :
  • REUTERS/David Becker/Files

VIVA.co.id – Presiden Amerika Serikat Donald Trump sepertinya tidak bisa jauh dari kebijakan yang kontroversional. Kali ini, Indonesia dan 15 negara mitra dagang AS lainnya masuk 'daftar khusus' yang dituding Trump bertanggung jawab atas meningkatnya defisit neraca perdagangan negeri Paman Sam tersebut.  

BPS Ungkap Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Neraca Perdagangan RI

Presiden Trump menuding 16 negara termasuk Indonesia telah membuat rugi perdagangan AS mencapai US$50 miliar atau setara Rp666,4 triliun pada 2016. Atas peristiwa tersebut, Trump kemudian mengeluarkan dua perintah eksekutif (executive order) untuk mencari akar masalah penyebab defisit neraca perdagangan AS.

Selain Indonesia, 15 negara yang masuk daftar khusus Trump yaitu China, Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Swiss, Taiwan, dan Kanada.

Neraca Perdagangan RI Februari 2022 Surplus US$3,83 Miliar

Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengungkapkan, satu dari dua perintah eksekutif yang dikeluarkan Trump berupa analisis negara per negara dan produk per produk. Hasilnya akan diumumkan Presiden Trump dalam 90 hari ke depan.

"Mereka akan melihat bukti kecurangan, kesepakatan dagang yang tidak sesuai perjanjian, minimnya penegakan hukum, permasalahan mata uang dan kendala dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)," ujar Ross, dilansir situs Channel News Asia, Selasa, 4 April 2017.

Donald Trump dan Kedua Anaknya Akan Diperiksa Terkait Penipuan

Pelabuhan peti kemas di Los Angles, Amerika Serikat.

Aktivitas pelabuhan peti kemas di Los Angeles, Amerika Serikat.

Ross mengatakan, dari sejumlah kasus perdagangan tersebut, ada negara yang lebih baik dan ada pula negara lebih murah dalam memproduksi sebuah barang dibandingkan AS. Sebenarnya negara-negara yang ada dalam daftar tersebut bukan berarti jahat atau curang. 

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters mengaku, rencana Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif terkait defisit perdagangan, adalah untuk memaksimalkan peluang kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan.

Ia pun menekankan bahwa selama ini AS selalu berupaya untuk mengurangi hambatan perdagangan agar produk-produknya tidak keluar dari pasar tertentu. McFeeters menegaskan, pemerintahnya akan berupaya untuk mengatasi penghalang yang menyebabkan defisit atau kerugian.

Amerika Serikat meyakini bahwa hubungan perdagangan dengan Indonesia, terutama ekspor dan impor, memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan. Kondisi ini terutama dalam bidang makanan dan minuman yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat.

"Satu sisi, beberapa produk seperti kopi, rempah-rempah, dan cokelat adalah potensi dari Indonesia. Di sisi lain, produk Amerika juga memiliki potensi lebih untuk diimpor Indonesia," kata McFeeters, di kawasan JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu 5 April 2017.

Selanjutnya, Tak Banyak Pengaruh

Tak Banyak Pengaruh

Sementara itu, Direktur Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, menilai, apa yang dituduhkan Presiden Trump terhadap Indonesia tentunya tak banyak memengaruhi kondisi defisit neraca perdagangan AS yang semakin meningkat dengan sejumlah negara di dunia.

Sebab, sebenarnya produk Indonesia yang mengisi pasar impor AS hanya sebesar 0,9 persen, sehingga sejujurnya AS tak perlu khawatir karena banyak negara lain yang justru menjadi pemasok impor terbesar ke AS. Seperti China yang mencapai 21,8 persen, Kanada 13 persen, Meksiko 12,9 persen, Jepang 5,8 persen, Jerman 5,5 persen, dan Korea 3,2 persen. 

"Jadi, kalau ke depan AS mau memproteksi Indonesia tentu itu enggak ada gunanya, karena proteksi yang dilakukan ke Indonesia hanya akan berkontribusi sangat kecil terhadap neraca perdagangan AS. Terlebih Indonesia hanya ada pada urutan ke-15," tutur Amelia kepada VIVA.co.id.

Data Biro Statistik Amerika Serikat mencatat, defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia terus meningkat. Pada 2013, defisit sebesar US$9,7 miliar, selanjutnya 2014 mencapai US$11,1 miliar, senilai US$12,4 miliar pada 2015, dan 2016 sebesar US$13,1 miliar. Sementara itu, Januari-Februari 2017 telah defisit sebesar US$2,2 miliar.

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok.

Pelabuhan peti kemas Tanjung Priok, Jakarta

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, terkait tuduhan Presiden Trump itu, Indonesia seharusnya tidak masuk dalam kategori yang merugikan AS. Sebab ada tiga indikator yang dipergunakan AS dalam menentukan, mana saja negara-negara yang dianggap sudah merugikan.

Pertama, dari sisi perdagangan. Masing-masing negara yang memiliki surplus lebih dari US$20 miliar dengan AS, maka masuk sebagai negara dengan kriteria merugikan. Kedua, transaksi berjalan di tiap negara yang mencetak surplus karena imbas dari neraca jasa yang positif, dan ketiga, negara yang melakukan intervensi kurs mata uang secara terus-menerus.

Sementara itu, ekonom PT Bank Pertama Tbk, Josua Pardede, mengatakan, sebenarnya defisit perdagangan AS yang terus melebar dalam dua tahun terakhir (2015-2016) banyak dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global dan sejumlah kebijakan yang diambil oleh AS sendiri.

Dengan demikan, kondisi itu yang mendorong pertumbuhan negatif ekspor produk AS yang mencapai -4 persen year on year (yoy). Sementara itu, impor juga tumbuh melambat, namun laju perlambatan lebih rendah dari ekspor yakni -3 persen yoy dalam dua tahun terakhir. 

Tren penurunan ekspor AS, dia melanjutkan, juga dipengaruhi oleh tren penguatan dolar yang didorong oleh quantitative easing, tapering, serta tren kenaikan suku bunga AS dalam jangka panjang. Sementara itu, di sisi lain penguatan dolar AS juga mendorong kenaikan biaya impor ke AS. 

"Jadi, menurut saya, tuduhan Trump tersebut kurang beralasan dan perlu dipahami melebarnya defisit perdagangan AS didorong karena kondisi ekonomi global serta tren penguatan dolar AS dalam beberapa tahun terakhir ini," tuturnya kepada VIVA.co.id

Adapun, jika diperinci berdasarkan produk ekspor Indonesia ke AS, komoditas ekspor yang paling utama adalah tekstil, pengolahan karet, alas kaki, elektronika, dan makanan minuman. Dan memang AS tidak memiliki daya saing pada sebagian besar komoditas tersebut. 

"Sementara dari sisi impor AS ke Indonesia antara lain, besi baja dan mesin-mesin serta kimia dasar berkontribusi hampir 50 persen, dan saya pikir Indonesia belum memiliki daya saing juga dalam produksi domestik untuk barang-barang tersebut," ujar Josua. 

Selanjutnya, Langkah Antisipasi RI

Langkah Antisipasi RI

Josua menuturkan, jika pada akhirnya investigasi pemerintah AS menemukan praktik kecurangan pada mitra dagang lainnya seperti China atau Jepang, yang kemudian berpotensi memperketat kebijakan antidumping pada mitra dagangnya maka hal itu berpotensi memengaruhi secara tidak langsung kinerja ekspor Indonesia. 

Dan ke depannya, untuk mengantisipasi itu, pemerintah Indonesia perlu mendorong hilirisasi dan diversifikasi produk-produk ekspor, sehingga produk Indonesia dapat bersaing dengan mitra dagang AS lainnya. 

Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita mengungkapkan, pemerintah terus memonitor sejumlah langkah yang akan diambil oleh Presiden Trump. Dan saat ini, pemerintah sedang menginventarisasi komoditas Indonesia yang sudah dan berpotensi diekspor ke AS.

PAMERAN PRODUK PERDAGANGAN

Kementerian Perdagangan pun telah melakukan beberapa langkah antisipasi untuk menghadapi sentimen proteksionisme Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Trump. Langkah pertama, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, adalah diversifikasi pasar non-tradisional tujuan ekspor. 

"Pasar-pasar baru ini kami upayakan dalam tahun ini target bisa tanda tangan 16 negara untuk kerja sama," ucapnya. 

Pasar baru yang dimaksud, seperti negara di kawasan Afrika, Timur Tengah, Euarasia, hingga Amerika Latin. Sejumlah negara di kawasan ini disebut-sebut belum secara maksimal memanfaatkan hubungan perdagangannya dengan Indonesia, sehingga masih banyak potensi. 

Kemudian, Indonesia juga akan memperkuat kerja sama perdagangan secara regional dan multilateral dalam beberapa forum perdagangan, misalnya Regional Comprehensive Economic Partnership dan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya